Tawuran remaja bukan lagi fenomena baru dalam lanskap sosial Indonesia. Namun, karakter kekerasan kolektif yang melibatkan Generasi Z mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an menunjukkan wajah yang berbeda dari generasi sebelumnya. Di satu sisi, Gen Z tumbuh dengan akses informasi yang nyaris tanpa batas melalui gawai pintar. Di sisi lain, mereka justru tenggelam dalam konflik fisik yang primitif dan destruktif. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa generasi yang paling terhubung secara digital ini justru terasing dari norma sosial yang seharusnya mengatur perilaku mereka?
 Esai ini berargumen bahwa tawuran remaja Gen Z merupakan manifestasi kontemporer dari anomie kondisi ketiadaan atau keruntuhan norma sosial yang pernah dirumuskan mile Durkheim dan dikembangkan Robert K. Merton. Lebih jauh, esai ini akan mengurai bagaimana lanskap digital yang paradoksal di mana informasi berlimpah namun makna gersang turut mengamplifikasi patologi sosial ini. Melalui lensa sosiologis, kita akan melihat bahwa tawuran bukan sekadar aksi vandalisme remaja, melainkan gejala dari retaknya struktur normatif di era digital.
Anomie: Ketika Kompas Moral Kehilangan Arah
mile Durkheim memperkenalkan konsep anomie untuk menggambarkan kondisi sosial. di mana individu kehilangan pegangan normatif akibat perubahan yang terlalu cepat atau atau ketidakseimbangan dalam sistem nilai masyarakat. Dalam masyarakat yang mengalami anomie, aturan-aturan lama tidak lagi relevan, sementara norma baru belum terbentuk dengan kokoh. Akibatnya, individu terombang-ambing tanpa panduan moral yang jelas, dan perilaku menyimpang menjadi respons logis terhadap kekacauan ini.
Robert K. Merton kemudian memperluas konsep ini dengan teori strain, yang menjelaskan bahwa anomie terjadi ketika ada ketidaksesuaian antara tujuan budaya yang diagungkan masyarakat dengan sarana legitim untuk mencapainya. Ketika jalur konvensional tertutup atau tidak dapat diakses, individu terutama yang berada di posisi marginal akan mencari jalan pintas, termasuk melalui perilaku devian.
Generasi Z hidup dalam paradoks yang sempurna untuk memicu anomie. Mereka dibesarkan dengan narasi kesuksesan instan influencer remaja yang kaya mendadak, viral semalaman, pamer gaya hidup mewah di media sosial namun realitas ekonomi yang mereka hadapi justru makin sempit. Ketimpangan ekonomi melebar, mobilitas sosial terhambat, dan kompetisi untuk sekadar bertahan hidup kian keras. Di tengah jurang antara ekspektasi dan kenyataan ini, norma-norma tradisional seperti kerja keras, kesabaran, dan integritas tampak naif, bahkan tidak masuk akal.
Tawuran remaja, dalam konteks ini, bukan sekadar aksi brutal tanpa makna. Ia adalah pernyataan eksistensial: "Kami ada. Kami dihitung." Ketika jalur konvensional untuk mendapatkan pengakuan sosial prestasi akademik, stabilitas ekonomi, status sosial yang terhormat terasa begitu jauh, kekerasan menjadi bahasa alternatif untuk menegaskan identitas. Solidaritas kelompok yang terbangun lewat tawuran memberikan rasa memiliki yang tidak mereka temukan di tempat lain. Ironi yang menyakitkan: di tengah dunia yang terkoneksi, mereka merasa terisolasi; dan dalam isolasi itulah, kekerasan menjadi jembatan.
 Kegersangan Norma di Ruang Digital
Jika anomie klasik Durkheim muncul dari perubahan sosial yang terlalu cepat di era industrialisasi, maka anomie Generasi Z dipicu oleh revolusi digital yang mengubah cara mereka memahami realitas itu sendiri. Media sosial menciptakan ekosistem normatif yang tidak hanya cair, tetapi juga kontradiktif dan penuh ambiguitas.Â
Di ruang digital, norma sosial tidak lagi bersifat stabil dan konsisten. Hari ini seseorang bisa menjadi pahlawan karena pernyataan moralnya yang berani, besok ia sudah di-cancel karena cuitan lama yang dianggap problematik. Anonimitas dan jarak fisik di internet memungkinkan orang untuk lepas dari tanggung jawab sosial kita bisa kejam tanpa harus menatap mata korban, bisa menyebarkan kebencian tanpa konsekuensi langsung. Algoritma platform dirancang bukan untuk memperkuat nilai moral, melainkan untuk memaksimalkan.Â
engagementdan ternyata, konten yang memecah belah, menghasut, dan sensasional jauh lebih "laku" ketimbang yang bijak dan menenangkan.
Generasi Z tumbuh dengan menginternalisasi logika digital ini. Mereka belajar bahwa viralitas adalah bentuk validasi tertinggi, bahwa identitas bisa dikonstruksi dan direkonstruksi sesuka hati, bahwa kebenaran bersifat relatif tergantung pada siapa yang paling keras berteriak. Ketika dunia maya yang mereka huni tidak menawarkan fondasi normatif yang solid, lalu bagaimana mereka bisa mengembangkan kompas moral untuk navigasi di dunia nyata?