Mendekati peringatan tiga abad layanan pos di Nusantara, gonjang-ganjing terus melanda PT Pos Indonesia. Unjuk rasa dan ancaman mogok sudah berkali-kali dilakukan atau disampaikan karyawan.
BUMN urusan kurir ini memang hampir tidak pernah tenang. Selama bertahun-tahun, BUMN yang khas dengan warga oranye ini rugi miliaran rupiah. Setelah ada pembenahan dan dapat untung, Pos Indonesia tidak juga menjadi tenang. Malah, keuntungan Pos Indonesia jadi sumber kericuhan baru.
Serikat Pekerja Pos Indonesia (SPPI) menuntut sebagian keuntungan itu dibagikan ke pekerja. SPPI juga meminta tunjangan kinerja dibayarkan.
Kini, SPPI pimpinan Rhajaya dan manajemen Pos Indonesia sedang berunding untuk mencari jalan keluar atas masalah itu. Perundingan yang difasilitasi Kementerian Tenaga Kerja itu masih berlangsung dan belum ada jalan keluar. Perundingan tidak pula menemui jalan buntu.
Tandingan
Apakah Pos Indonesia sudah tenang? Ternyata belum. Di tengah perundingan antara SPPI dengan manajemen Pos Indonesia, tiba-tiba ada lagi ancaman mogok massal. Lho, kok bisa?
Rupanya ada kelompok pekerja lain. Mereka menyebut diri sebagai SPPI Martabat. Meski tidak jelas kapan dibentuk, kapan pengurus dipilih, tidak jelas AD/ART maupun pendaftarannya di Dinas Tenaga Kerja atau Kementerian Tenaga Kerja, SPPI Martabat mengaku sebagai organisasi sah karyawan Pos Indonesia.
SPPI Martabat dipimpin Heri Purwadi, karyawan Pos Indonesia di Jawa Barat. Heri pernah mencoba ikut pemilihan ketua SPPI. Sayang, ia kalah dan tidak terpilih. Kini, tahu-tahu ia menjadi pimpinan SPPI Martabat.
Heri dan Parkir
Tidak ada kejelasan soal sosok ketua ini. Sejumlah pihak sempat bertanya, apakah ia orang yang sama dengan karyawan Pos Indonesia di Jabat yang didisiplinkan karena ketahuan menggunakan lahan pos untuk tempat parkir ilegal?
Karyawan yang diketahui bersama Heri ini lebih sibuk mengurus lahan parkir ilegal dibanding mengerjakan tugasnya sebagai karyawan. Â Lahan itu ditutup Pos Indonesia dan Heri diharuskan kembali fokus bekerja.