Mohon tunggu...
Andi Andi
Andi Andi Mohon Tunggu...

a cosmopolite citizen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Malpraktek Aksi" dalam Demonstrasi Para Dokter

30 November 2013   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Demonstrasi massal ribuan dokter di Indonesia hari Rabu yang lalu sebetulnya bukan sesuatu yang aneh. Di Negara-negara lain, demonstrasi oleh para dokter juga sering dilakukan. Tentu saja berdemonstrasi dan menyatakan pendapat adalah hak setiap orang dalam demokrasi yang sehat. Di Indonesia, kita bisa bersyukur bahwa bentuk kebebasan ini dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang Dasar terutama di pasal 28. Kita juga patut bersyukur, karena akhirnya dokter yang adalah kelompok professional kelas menengah, terutama yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI), akhirnya tidak lagi mengharamkan demonstrasi sebagai ekspresi yang selama ini dianggap hanya mengganggu keamanan dan kenyamanan sebagaimana yang selalu dituduhkan kepada buruh atau mahasiswa. Macetnya mekanisme penyaluran aspirasi publik dalam sistem politik di tanah air pada akhirnya juga disadari oleh para dokter dan kelompok masyarakat lainnya sehingga demonstrasi dianggap cara yang efektif, dan tentunya menarik perhatian, dalam menyampaikan pendapatnya. Aksi kemarin juga bukan yang pertama kali yang dilakukan oleh para dokter di Indonesia. Beberapa aksi yang pernah muncul di media antara lain di Banda Aceh (RSU Zainul Abidin) tahun 2010 dan Aceh Tengah tahun 2011 yang memprotes dana insentif yang berkurang atau tidak diterima, bulan Juni lalu ada mogok dokter-dokter spesialis di Karawang, bulan Oktober yang lalu dokter-dokter di Bantul juga aksi soal APBD, dan beberapa kali dokter-dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu juga melakukan aksi di ibukota menuntut antara lain pemerintah untuk menerapkan system kesehatan yang pro-rakyat.

Tetap saja, ada yang baru dan unik dari aksi besar-besaran kemarin dibandingkan dengan aksi-aksi sebelumnya maupun aksi-aksi di Negara lain. Keunikan ini jadi satu bentuk malpraktek tersendiri, yang secara umum bisa diartikan sebagai aksi atau tindakan yang buruk atau tidak tepat.

Yang pertama, aksi ini dikumandangkan sebagai mogok nasional para dokter. Menurut UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mogok memiliki definisi yang spesifik. Beberapa diantaranya adalah : mogok dilakukan oleh pekerja yang dilakukan bersama-sama dan oleh serikat pekerja, tujuannya untuk memaksa perusahaan atau majikan untuk memenuhi tuntutan setelah gagalnya perundingan, dilakukan secara sah dalam arti memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang diatur dalam perundang-undangan, serta ketentuan khusus bagi mogok pekerja di perusahaan yang berkaitan dengan keselamatan jiwa manusia. Tidak terpenuhinya berbagai unsur yang disebutkan di UU tersebut berarti tidak sah dan dapat dikualifikasikan sebagai mangkir.

Yang kedua, slogan “Gerakan Satu Hari tanpa Dokter” mengandung makna yang rancu dengan tujuan aksi ini sendiri. Sebuah gerakan, biasanya dilakukan untuk melakukan perubahan dari sesuatu yang dianggap buruk menjadi yang lebih baik dengan melibatkan dukungan luas dari masyarakat. “Gerakan Satu Hari tanpa Dokter” menyiratkan pesan yang keliru, karena gerakan ini justru ingin mengubah situasi menjadi buruk dimana dokter diarahkan untuk tidak lagi menjalankan fungsinya, dan yang lebih buruk adalah pesan ini ditujukan bukan untuk mendapat dukungan masyarakat yang notabene adalah pengguna jasa dokter, tapi justru untuk memberi ‘pelajaran’ kepada masyarakat. Bedakan dengan aksi para dokter dan mahasiswa kedokteran di India bulan Juni yang lalu. Tuntutan utama mereka adalah agar pemerintah menambah kuota untuk mahasiswa spesialisasi kedokteran, karena itu slogannya untuk menarik dukungan masyarakat adalah “Save the Doctors”.

Yang ketiga, kita boleh angkat jempol untuk solidaritas yang ditunjukkan para dokter ini atas nasib yang dialami rekan-rekan mereka yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung. Meski demikian, ketika para dokter di Aceh Tengah berdemonstrasi menggugat kebijakan Pemerintah Daerah, apakah solidaritas ini juga muncul? Ketika dokter di Bantul mempersoalkan APBD yang tak kunjung turun, apakah ada seruan solidaritas untuk mereka? Ketika sekelompok Dokter Indonesia Bersatu menyuarakan tuntutan kebijakan reformasi kesehatan, apakah dokter-dokter di bawah IDI juga bersolidaritas? Bagaimana solidaritas untuk dokter Andreas Kairiel yang tewas tertembak dalam misi kemanusiaan di Somalia? Atau ketika masyarakat Papua meninggal karena kelaparan dan minimnya akses kesehatan termasuk obat-obatan, apakah ada solidaritas untuk para dokter di Papua yang kesulitan menjalankan tugasnya?

Ini kemudian mengarah kepada hal yang keempat, yakni apa yang tidak tersirat dan justru menjadi keunikan aksi kemarin. Solidaritas yang ditunjukkan kemarin adalah untuk membela rekan yang secara hukum pidana terbukti melakukan malpraktek, suatu istilah medis yang sering dirujuk untuk menjelaskan kesalahan dokter yang berakibat buruk pada pasien. Sejak tahun 2006 hingga tahun 2012, tercatat ada 182 kasus malpraktek yang selama ini ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau MKDKI (Tempo, 25 Maret 2013). Selama ini hukuman terberat yang diberikan MKDKI adalah adalah pencabutan ijin praktek. Terlepas dari adanya dualisme pengertian tentang malpraktek dari sisi etika kedokteran dan hukum pidana, atau antara malpraktek medis dan malpraktek akibat kelalaian (negligence), solidaritas dan penolakan atas putusan MA menunjukkan bahwa para dokter resah terhadap profesinya yang sewaktu-waktu bisa dikriminalkan. Ini sekaligus menunjukkan penolakan dokter terhadap perlakuan hukum yang menyamakan mereka dengan anggota masyarakat lainnya di Indonesia.

Sejak lama dokter di Indonesia menikmati posisi sebagai kelompok kelas menengah yang kebal hukum, mendapat perlindungan penuh dari Negara (pada saat yang sama intervensi mutlak dari rejim yang berkuasa) terutama lewat organisasi IDI, dan pada saat yang sama juga mendapat privilese banyak dari pihak swasta termasuk produsen obat alat-alat kedokteran, rumah sakit, dan sebagainya. Dengan berlindung di balik kata ‘profesionalisme’, dokter-dokter di Indonesia tidak pernah menempatkan kondisi pasien dalam konteks situasi sosial di luar wilayah nyamannya.

Banyaknya hujatan terhadap aksi dokter kemarin sebetulnya menunjukkan bahwa dunia ‘profesional’ dokter selama ini jauh sekali dari pasiennya dan dari masyarakat secara umum. Ada ketidak puasan terhadap pelayanan, fasilitas, dan secara umum akses terhadap dokter dan sistem kesehatan di Indonesia. Jarang sekali ada pemihakan dokter yang terbuka, terutama secara institusi seperti IDI, terhadap ketidak puasan dan ketidak beruntungan pasien dalam mengakses kesehatan di Indonesia. Tentu dokter bukan satu-satunya pihak yang harus disalahkan, tapi ada sistem yang lebih besar di Negara ini yang harus bekerja efektif untuk memperbaiki kondisi ini. Dokter menjadi penting, karena merekalah sebetulnya agen utama yang paling berkepentingan dengan system kesehatan yang baik dan memulihkan kepercayaan masyarakat. Namun daripada melakukan aksi untuk memperbaiki sistem kesehatan yang lebih memihak pada masyarakat luas, dokter lebih memilih untuk beraksi menolak wilayah nyamannya diganggu gugat dalam satu hukum pidana yang berlaku untuk siapapun di Negara ini. Lebih buruk lagi, dokter tidak menyampaikan aksinya kepada system peradilan yang dianggap tidak adil, melainkan mengumbar pesan arogan bahwa masyarakat tidak bisa hidup tanpa dokter, dan karena itu mogok nasional akan membuat masyarakat jera.

Dengan segala ‘malpraktek aksi’ ini, apakah dokter masih berharap tuntutan mereka akan mendapat simpati dan dukungan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun