Dedi Mulyadi atau familiar disebut Kang Dedi, telah menyita perhatian publik akibat idenya. Anak-anak nakal di sekolah akan dimasukkan ke barak militer, agar mendapatkan pembinaan baik wawasan kebangsaan maupun keterampilan/skill. Bak gayung bersambut, ide itu memperoleh respon dan telah ada anak-anak dimasukkan ke barak.
Pakar-pakar pendidikan menilai itu bisa berdampak kepada psikologis dan bertentangan dengan nilai-nilai humanis. Tapi, Menteri HAM Natalius Pigai menilai hal itu, tidak bertentangan dengan HAM. Lebih lanjut, Pigai menilai apabila itu berhasil maka akan jadi percontohan dan berlaku di seluruh Indonesia. Memang pendekatan itu terkesan militeristik, namun apakah kita akan terburu-buru menilai ide dan tindakan itu tidak tepat?
Selain itu, fokus pembinaan kepada anak-anak nakal, harus mencari ide yang tidak biasa. Alasannya sederhana, pendekatan psikologis bisa dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling (BK). Yang memang mendapatkan porsi dalam melakukan pendekatan persuasif dan lebih bersahabat. Peluang kolaboratif itu penting, antar guru BK dan tentara, supaya menggabungkan nilai-nilai psikologi dan kedisiplinan dalam pembinaan tersebut.
Kita harus sadar bahwa membangun karakter dan tanggung jawab kepada anak-anak sekolah itu penting. Semua harus mengambil peran termasuk tentara, apabila diperlukan. Jangan menutup peluang kepada semua untuk berperan sesuai kapasitas masing-masing. Tapi, harus juga diingat peran pembinaan itu jangan sama sekali meninggalkan peran guru dan orang tua, begitu pula dengan anak-anak. Kuncinya lakukan evaluasi, apakah anak-anak itu merasa cocok dengan pendekatan masuk ke barak?
Pendidikan kita sering kali lupa, bahwa yang hendak mereka didik itu adalah manusia. Perlakukan peserta didik itu sebagai manusia, bukan ropot yang harus mengikuti dan taat terhadap semua perintah. Jangan sampai pembinaan di barak itu, hanya melahirkan anak-anak yang mengikuti perintah dan tidak menumbuhkan daya kreativitas. Kita tidak menginginkan setelah pembinaan di barak itu, karakter menjadi seragam dan tidak memiliki sikap-sikap yang terbuka.
Kalau pun ide dan tindakan Dedi Mulyadi ini, hendak dijadikan contoh di seluruh Indonesia. Kita meminta supaya pemerintah melakukan kajian lebih mendalam, jangan asal menerapkan begitu saja. Selain itu, kita berharap semua elemen pendidikan terlibat secara aktif, jangan sampai terjadi pembiaran dan tindakan/pendekatan yang tidak tepat bagi siswa-siswa akan berakibat fatal bagi perkembangan negara kedepannya.
Dunia pendidikan dan sekolah memiliki segenap kemewahan dalam memberikan pembinaan kepada siswa-siswanya. Jangan sampai anak-anak nakal itu hanya butuh ruang mengaktualkan potensinya. Biasanya pihak sekolah telah menyiapkan ruang berupa pengembangan diri. Misalnya olahraga, kesenian, silat, drumbank, pramuka, PMR dan berbagai ruang bagi pengembangan diri seorang siswa. Peluang-peluang semacam itu harus lebih dimanfaatkan dalam pengembangan keterampilan/skill bagi siswa-siswa. Dampaknya akan lebih luas lagi, siswa punya tujuan, bertanggung jawab dan tepat waktu.
Mungkin kita lupa, kalau kita senang terhadap sesuatu maka secara psikologis akan membuat perasaan senang dan terhindar dari tindakan negatif. Sekolah dan dunia pendidikan harusnya melakukan pembinaan dalam bentuk pengembangan diri kepada siswa-siswanya. Hal itu, akan mengurangi tindakan-tindakan yang dianggap nakal.
Salam dari warga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI