Mohon tunggu...
Andhika Zulkarnaen
Andhika Zulkarnaen Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder of Cultura Magazine

A creativepreneur with more than 15 years of professional experience in communication, branding, and new media.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Capernaum", Anak-anak Telantar dan Kekacauan di Lebanon

2 Mei 2019   15:31 Diperbarui: 2 Mei 2019   16:13 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
capernaum review - review-avenue.co.uk

Zain Al-Hajj (diperankan dengan apik oleh Zain Al-Rafeea) tidak tampak seperti seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Tubuhnya stunting. Ia terlalu kurus juga terlalu pendek untuk anak seusia itu. 

Tapi jangan meragukan pola pikir bocah mungil ini. Ia terlampau bijak dan kritis untuk anak seusianya. Bahkan sang sutradara, Nadine Labaki, juga mengakui begitulah karakter Zain di dunia nyata. Bila dalam film Capernaum Zain kecil memerankan seorang bocah laki-laki Lebanon, pada kehidupan nyata ia sebenarnya adalah pengungsi dari Suriah.

Film Capernaum diciptakan oleh seorang sutrada perempuan asal Lebanon yang terhenyak pada kenyataan betapa kacaunya kehidupan di negara itu. Separuh penduduk Lebanon saat ini adalah pengungsi dari Suriah. 

Anak-anak hidup di jalan, mencari uang, atau hanya menghabiskan sisa hidup mereka tanpa kepastian. Para orangtua tidak punya cukup uang untuk menyekolahkan mereka apalagi sekadar memberi makan. Kemiskinan sudah sangat menyesakkan urat nadi. Nadine yang dibantu suaminya lalu memproduksi film ini di negara yang sesungguhnya tak punya industri film.

Sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh berkaca ke Lebanon. Di Indonesia pun ada banyak kondisi dimana orangtua yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mampu menghidupi anak-anaknya dengan layak. 

Orangtua yang tetap beranak pinak meski menyediakan nasi saja tak mampu lantas menikahkan anak perempuannya di usia dini demi mengurangi beban ekonomi. Tidak hanya di Lebanon, di sini pun angka perkawinan usia dini masih tinggi. Sayangnya kita masih saja menolak realita ini dan membiarkan anak-anak itu hidup tidak manusiawi.

Lalu begitulah film ini diciptakan oleh Nadine. Agar orang-orang tertampar dan mengakui bahwa inilah kondisi yang kita hadapi. Zain, entah memiliki berapa saudara, hidup berdesak-desakan dalam sebuah flat kumuh yang tak layak huni. Ayah ibunya menganggap anak adalah anugerah sekaligus sebuah keharusan. Tidak memiliki anak adalah aib. 

Mereka terus bereproduksi meski di saat-saat terburuk hanya mampu memberi anak-anak mereka air dan gula untuk dikonsumsi. Mereka juga menyuruh Zain memalsukan resep agar bisa membeli obat di apotik untuk dijual secara ilegal.

Zain sudah lelah dengan hidupnya. Tapi ia tetap berusaha untuk mencari uang dengan cara apapun yang ia bisa. Suatu ketika ia menyadari adiknya, Sahar, telah akil baligh. Sahar mendapatkan menstruasi pertamanya. 

Zain merasa takut sang adik akan dijual oleh orangtuanya. Ia lalu mencucikan celana dalam Sahar dan menyuruh si adik memakai bajunya sebagai pengganti pembalut. Zain pun rela mencuri pembalut dari warung agar Sahar bisa tetap hidup nyaman.

Di usia begitu muda, Zain sudah menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Ia benci pada orangtua yang membuatnya harus melakukan pekerjaan kotor. Ia melirik dengan nelangsa ketika ibunya yang menggendong bayi tetap sibuk mengepulkan asap rokok. Hatinya tak tenang ketika pemilik warung menggoda adiknya yang masih di bawah umur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun