Nongkojajar, Pasuruan – Di balik sejuknya udara pegunungan Nongkojajar yang dikenal dengan perkebunan apel dan sayur-mayurnya, masyarakat setempat masih bergulat dengan masalah kesehatan kronis, mulai dari sindrom metabolik, hipertensi, hingga nyeri muskuloskeletal akibat aktivitas bertani. Keterbatasan akses layanan kesehatan komprehensif memperberat kondisi tersebut.
Menjawab tantangan ini, lahirlah Program Adinata Nongkojajar, sebuah kolaborasi lintas institusi yang mengusung semangat Corporate Social Responsibility (CSR). Program ini merupakan sinergi PW Gereja Pouk Pukria Kota Wisata Cibubur – Jakarta dengan STAK Sabda Holistik Nongkojajar Pasuruan, menggandeng Klinik Utama Nurona, Klinik Nyeri RS Universitas Brawijaya, Endorphins Indonesia, Respect.id Indonesia, dan VitalSense UB.
Fokus intervensi kali ini menyasar 250 pasien dari berbagai latar belakang suku dan agama, mulai dari Jawa, Madura, Papua, Tengger, hingga masyarakat dari Indonesia Timur, baik Muslim, Kristen, Hindu, maupun Katolik. Pendekatan inklusif ini menjadikan Adinata Nongkojajar sebagai program kesehatan yang merangkul keberagaman masyarakat.
Dalam kegiatan ini, PW Gereja Pouk Pukria memberikan donasi berupa 250 strip glukosa, 50 strip kolesterol, dan 50 strip asam urat senilai lebih dari Rp4 juta. Bantuan tersebut memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan secara gratis dan tepat sasaran.
Lebih jauh, VitalSense – perangkat pemantau kesehatan non-invasif multiparameter berbasis IoT – turut hadir untuk mendeteksi dini sindrom metabolik secara cepat, efektif, dan ramah bagi masyarakat pedesaan.
Adinata Nongkojajar juga menguat lewat dukungan perguruan tinggi, yakni Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, dan ITSK Dr. Soepraoen. Dengan keterlibatan lintas universitas, kegiatan tidak hanya berhenti pada pelayanan kesehatan sesaat, melainkan juga riset, edukasi, dan transfer pengetahuan ke masyarakat.
Ketua Pelaksana, Christin Kusumastuti, menyampaikan:
“Kami ingin program ini tidak hanya sebatas layanan medis, tetapi juga menjadi jembatan solidaritas antarumat beragama dan antarbudaya. Nongkojajar adalah miniatur Indonesia, dan kesehatan harus bisa dirasakan semua orang.”
Sementara itu, Ketua Tim Tenaga Kesehatan, Mochamad Saiful Anwar, menekankan aspek kolaborasi:
“Kegiatan ini membuktikan bahwa tenaga kesehatan, akademisi, dan komunitas bisa bekerja bersama. Intervensi kami tidak berhenti di pemeriksaan, tapi juga edukasi dan pendampingan agar masyarakat lebih mandiri menjaga kesehatannya.”