Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nilai Intrinsik dalam Sebutir Permen Kembalian

1 November 2016   11:51 Diperbarui: 1 November 2016   17:47 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak sekolah dasar kita sudah berkenalan dengan operasi matematik tentang pembulatan bilangan. Seingat saya, garis besar teorinya dibagi menjadi tiga: pembulatan desimal, pembulatan bilangan bulat dan pembulatan angka penting. Kalau mau rincinya, Kisanak bisa buka buku paket anak atau adik.

Banyak hal menjadi mudah karena operasi matematik tersebut, apalagi kalau berkaitan dengan kegiatan transaksional yang memang umumnya berasosiasi dengan angka. Namun dalam beberapa situasi yang saya kenal, ternyata teori itu mulur-mungkeret pada praktiknya.

Sedikit cerita. Beberapa waktu lalu, sebuah transaksi yang tidak win-win-solution mengubah hampir keseluruhan cara pandang saya terhadap uang receh, uang kembalian khususnya. Transaksi yang menurut saya tidak ideal itu terjadi ketika saya membeli shampo seharga 1200 perak di sebuah warung.

Di warung tersebut, uang saya, tiga keping 500-an saya tukarkan dengan shampo sesuai keinginan, dan secara sepihak diberi dua buah permen sebagai ganti kembalian. Tidak masalah bagi saya, sebagaimana yang saya yakini sebelum-sebelumnya bahwa hal itu adalah jenis transaksi yang lumrah.

Sepulangnya, niat hendak ngemut permen kembalian tadi muncul. Saya rogoh saku celana untuk mengambil salah satu. Sial! Permen tadi ternyata telah rusak bungkusnya. Jika dilihat kerusakannya, bisa jadi akibat gigitan tikus atau sejenisnya. Tanpa berpikir panjang kali lebar, saya buang permen itu.

Lidah saya masih penasaran, saya rogoh permen satunya, saya perhatikan segel atau bungkusnya masih aman. Ketika saya buka, Masyaallah!! Betapa lengket berlendir, lembek dan hancur permen yang seharusnya keras mengkristal bening itu. Asumsi saya, permen tersebut sudah ada sejak didirikannya keperabuan warung yang saya kunjungi tadi, dan pasti pula akibat paparan sinar matahari langsung secara terus menerus.

Sepersekian menit itulah yang mengubah konsep uang kembalian yang saya yakini sebelumnya. Dulu saya tanamkan dalam pikiran bahwa kembalian permen adalah bentuk kepedulian penjaga warung dengan aroma napas pelanggannya. Sekarang, saya rasa kembalian dalam bentuk uang adalah mutlak.

Uang kembalian harusnya digunakan sebagai pembulatan bilangan nilai uang kita, dari pembelian barang yang harganya telah disepakati kedua belah pihak. Membulatkan angka dengan angka, rupiah dengan rupiah. Harusnya begitulah laku transaksi yang ideal, bukan memberi kembalian dalam bentuk permen.

Setelah kejadian itu saya iseng mencari adakah representasi kehadiran pemerintah terhadap kasus permen ini, ternyata banyak dan bertebaran dalam pasal perlindungan konsumen. Bahkan, pemerintah terkesan tidak main-main, seperti biasanya, dalam susunan undang-undang tentang ini.

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal yang mungkin dapat diterapkan dalam kasus ini adalah Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen yang mengatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

Sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Dikutip dari hukumonline.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun