Mohon tunggu...
Anang Syaifulloh
Anang Syaifulloh Mohon Tunggu... Freelancer - Akun Pribadi

Pengagum Bapak Soekarno, namun untuk masalah wanita belum seahli beliau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Harus Tua untuk Disebut Kyai Kampung

22 Oktober 2017   09:26 Diperbarui: 22 Oktober 2017   09:50 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tangisan faza begitu memekikkan telinga, suaranya mungkin terdengar sampai surau di depan kamar ia biasa tinggal. Keheningan subuh semakin menambah jelas suara tangisan yang mendayu-dayu. Naluri Mas Wawan sebagai ayah langsung menggendong putra pertamanya keluar dari kamar. Diajaknya menuju  surau sambil mendendangkan sholawat. Timangannya berayun ayun seirama dengan goyangan daun mangga yang bergoyang tertiup angin subuh. Dingin tetapi menyegarkan.

Saya biasa memanggil beliau dengan sebutan mas bukan pak ataupun mbah. Usianya masih setara dengan klub sepakbola idola saya di Malang. Tubuhnya tinggi dengan badan yang masih kalah besar dengan adiknya. Lewat adiknya lah saya berkenalan dengan beliau. Selama bersahabat dengan sang adik, saya sangat jarang bertemu dengannya. Maklum, masa mudanya banyak dihabiskan di salah satu pondok di Kediri. Baru ketika akhir SMA saya lebih sering bertemu dengan beliau. Mengajar di pondok tempat saya mengaji dulu.

Rumah beliau dekat. Seberang desa dengan saya. Waktu tempuhnya dapat dihitung dengan jari. Beliau adalah guru saya meskipun dalam beberapa kesempatan lebih sering bercanda layaknya kawan. Sering saya menanyakan dan berdiskusi dengan beliau. Pandangan seseorang yang berjiwa muda dan aktual menambah semangat dalam mendengar setiap kata darinya. Keilmuan yang diperoleh dari pondoknya, beliau terapkan sesuai dengan keadan masyarakat sekarang. Baginya, yang terpenting adalah mengajak masyarakat agar tidak malas terlebih dahulu untuk mengikuti pengajian baru kemudian mengisinya dengan untaian-untaian syariat.

Surau ukuran 10x8 meter berdiri di depan rumahnya. Bentuk kotak dengan serambi di dua sisi utara dan timur. Atapnya berupa dag dengan rencana untuk 'gotakan' apabila nanti ada yang ingin tinggal disana. Surau ini tidak langsung jadi. Tahap pondasi sampai dag berjalan perlahan sambil menunggu dana yang ada. Alhamdulillah 2 tahun cukup untuk mendirikan surau ini sampai dapat digunakan untuk beribadah sehari-hari. Tempat inilah yang menjadi sarana dakwah beliau.

Masyarakat sekitar mengenal beliau dengan baik. Tiap waktu sholat masyarakat sekitar berduyun-duyun untuk melaksanakan sholat berjamaah. Tiga sampai empat shaf  mengisi barisan solat. Agak sedikit berkurang ketika waktu dhuhur dan ashar karena kesibukan kerja warga sekitar. Waktu antara maghrib dan isya tidak dibuang begitu saja. Beliau mengisi dengan kultum. Maksimal hanya sepuluh menit beliau membacakan untaian dari kitab-kitab salaf dengan tujuan membiasakan dulu masyarakat untuk belajar agama meskipun sebentar. Langkah ini juga beliau lakukan dalam rutinan tahlil dan yasinan. Jamaah dapat menanyakan masalah fiqh yang ditemuinya sehari-hari.

Model dakwah seperti itu sudah beliau lakukan ketika masih nyantri. Ada beberapa utusan menyebar ke sekitar pondok untuk mengajar agama. Beliau pernah mengajar ke pelosok kediri. Wilayah pegunungan dengan hawa dingin sepanjang hari. Hamparan kebun terbentang sepanjang jalan.

Saya pernah diajak kesana. Menikmati suasana alam pegunungan sekaligus merasakan kehangatan warga. Pengalaman menghadapi berbagai macam tipe orang membantu melatih kepekaan dakwah. Suatu ketika Mas Wawan pernah mengajar ngaji di sebuah mushola. Kebetulan warga sekitar mushola tersebut ada yang mengenal dan masih satu daerah dengan beliau. Diceritakan kepada masyarakat sekitar daerah asal Mas Wawan. Sejak saat itu Mas Wawan dipercaya untuk memimpin tahlil dan yasinan. Awal mula pengabdian kepada masyarakat.

Pagi hingga menjelang sore beliau mengajar di Madrasah Aliyah. Sekitar pukul tiga, kesibukan beliau beralih untuk mengajar anak-anak kecil di sekitar surau. Istri beliau seorang hafidz. Membantu Mas Wawan mengenalkan bacaan Al Quran kepada anak kecil. Faza yang masih kecil kadang merepotkan. Rewel ketika tiba-tiba bangun ataupun menangis karena mainannya terjatuh dan ia tidak bisa mengambil. Mas Wawan dan istrinya bergantian untuk mengajar sambil memperhatikan tingkah Faza. Murid yang lebih dari 20 anak tidak memungkinkan untuk diajar sendiri.

Malam hari, anak smp di sekitar surau datang untuk mengaji. Tidak lama, hanya setengah jam selepas isya. Selanjutnya mereka terbiasa untuk tidak pulang ke rumah. Surau ini juga menyediakan kamar kecil untuk mereka tidur.

Bagi saya dan masyarakat sekitar, beliau merupakan sosok muda yang mengabdi kepada lingkungan sekitar. Beliau terpanggil untuk mengenalkan agama meskipun dalam lingkup kecil. Ketika ada sebuah anekdot tentang tahapan kyai dari kyai kampung, kabupaten sampai kyai nasional, mungkin beliau lebih memilih yang pertama. Meskipun untuk disebut kyaipun beliau menolak. Sebuah sebutan yang tidak bisa di dapat lewat pendidikan akademis tetapi lebih karena proses budaya dalam masyarakat. Memberi sebutan untuk seseorang alim yang peduli dalam pendidikan agama masyarakat.

Selamat Hari Santri Nasional 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun