Mohon tunggu...
Ananda Sudrajat
Ananda Sudrajat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Desentralisasi terhadap Fenomena Kesenjangan Pembangunan di Indonesia

18 Desember 2021   14:00 Diperbarui: 18 Desember 2021   14:15 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu produk dari reformasi adalah lahirnya otonomi daerah atau desentralisasi. Litvack dan Seddon mendefinisikan desentralisasi sebagai pemberian wewenang dan tanggung jawab dari pusat kepada daerah. Namun realita perjalanannya, desentralisasi justru memberikan banyak rapor merah baru bagi dinamika politik di Indonesia. Tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, kesenjangan pembangunan, hingga maraknya korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah merupakan beberapa contoh nyata dari gagalnya praktik desentralisasi di Indonesia. Menurut Dillinger ada 4 jenis dari desentralisasi yaitu desentralisasi politik, deselintrasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi. Di Indonesia sendiri dari keempat jenis desentralisasi, desentralisasi administratif lah yang seringkali diimplementasikan, dalam bentuk pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah.

    Sejak era reformasi konsep desentralisasi telah diimplementasikan di Indonesia selama hampir dua dekade, desentralisasi dijalankan sebagai salah satu komitmen pemerintah terhadap upaya pemulihan demokrasi di Indonesia, dengan desentralisasi sebagai simbol pendelegasian wewenang. Namun dalam pengimplementasiannya, desentralisasi kerap kali menimbulkan masalah-masalah baru dan tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang menjadi tujuan dari desentralisasi itu sendiri. Perda yang tumpang tindih, ketidakmampuan daerah untuk membiayai anggaran pegawai, dan pemekaran daerah yang tidak sesuai dengan anggaran adalah beberapa contoh permasalahan baru yang ditimbulkan oleh desentralisasi. Selain itu, permasalahan lama yang tidak teratasi oleh desentralisasi adalah pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, bahkan desentralisasi justru menciptakan kesenjangan indeks pembangunan di daerah. Artikel ini membahas tentang desentralisasi dan pemerataan daerah di Indonesia.

    Alasan utama mengapa desentralisasi menjadi agenda penting dalam reformasi pada tahun 1998 adalah praktik pemerintahan terpusat yang dijalankan pada era orde baru. Pada era orde baru, pembangunan hanya dipusatkan di pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia tidak memiliki wewenang serta akses terhadap anggaran untuk membangun daerahnya. Selain itu, pemerintah daerah pun tidak memiliki kebebasan dalam hal perencanaan pembangunan daerah, mengingat perencanaan pembangunan, anggaran, serta wewenang dalam hal regulasi daerah secara garis besar dikendalikan oleh pusat. Akibat dari pemerintahan terpusat ini, banyak daerah-daerah yang tertinggal dalam hal pembangunan, baik itu secara infrastruktur, akses fasilitas publik, pertumbuhan ekonomi serta pembangunan manusia. Kesenjangan ini menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh pemerintah. Akibat kesenjangan tersebut, permasalahan sosial seperti urbanisasi, tingginya angka kriminalitas dan pengangguran, serta kesenjangan sosial muncul ke permukaan. Logika sederhananya adalah saat penduduk di suatu daerah tertinggal tidak memiliki akses terhadap fasilitas publik yang layak seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pusat ekonomi serta lapangan pekerjaan masyarakat di wilayah tersebut otomatis akan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar khususnya di pulau Jawa untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Fenomena tersebut menimbulkan efek domino dikarenakan kota-kota besar yang menjadi pusat ekonomi populasinya akan semakin padat oleh para pendatang dan gesekan sosial inilah yang pada akhirnya meningkatkan angka kriminalitas dan pengangguran.

        Berdasarkan fakta tersebut, desentralisasi dinilai menjadi solusi untuk mereformasi pemerintahan agar menjadi lebih demokratis dengan pendelegasian wewenang sekaligus untuk meredam permasalahan-permasalahan sosial diatas. Henry Maddick (1963) menyatakan bahwa arti dari desentralisasi adalah penyerahan wewenang secara legal dari pusat untuk dapat menangani bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom. Desentralisasi dilakukan untuk menguatkan otonomi pemerintah daerah dan mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam urusan publik. Terdapat setidaknya tiga hal dalam pendelegasian wewenang pusat ke daerah yaitu : Pertama, wewenang dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi problematika dan urusan-urusan yang ada di masyarakat daerah. Kedua, menjalankan peran pemerintah di lingkup daerah sehingga peran pemerintah daerah terasa lebih nyata. Ketiga, pendelegasian wewenang pemerintah pusat ke daerah guna menyediakan kebutuhan publik dan memperbaiki pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan daerah.

Desentralisasi diimplementasikan guna mengurangi wewenang pemerintah pusat yang terlalu besar. Desentralisasi diharapkan memperhatikan detail-detail problematika yang dialami di lingkup daerah serta menciptakan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di daerah. Selain itu, desentralisasi diharapkan mendorong partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Responsivitas pemerintah pusat dalam menangani problematika di daerah-daerah diharapkan bisa menjadi lebih ringan dengan adanya desentralisasi, mengingat pemerintah pusat bisa fokus terhadap aspek lain.
Desentralisasi dari sudut pandang ekonomi politik bisa dilihat sebagai upaya agar wewenang atau kekuasaan tidak menumpuk pada pemerintah pusat atau suatu kelompok yang berkuasa dimana tiap-tiap daerah memiliki otonomi khusus untuk mengelola wilayahnya, terlebih dalam urusan anggaran dimana wilayah otonomi memiliki wewenang untuk mengelola anggaran serta mengatur kebijakan-kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran serta pembangunan di bidang ekonomi. Hal ini tentu sejalan dengan konsep separation of power dalam demokrasi dimana pemerintahan bukan hanya dibagi menjadi trias politica, namun eksekutif pun tidak terpusat kepada suatu kelompok.

Upaya desentralisasi dari pusat ke daerah sebenarnya sudah dicanangkan sejak masa revolusi kemerdekaan Indonesia yaitu pada tahun 1945-1949 ditandai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Kebijakan tersebut diganti oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya gejolak politik dan silih bergantinya pemerintahan, Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998. Desentralisasi merupakan salah satu agenda utama dari reformasi yang diimplementasikan sebagai upaya untuk merestorasi demokrasi dan delegasi pemerintahan dari pusat ke daerah. Akhirnya pada tanggal 1 Januari 2001, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disahkan dan kemudian hari direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Selain itu upaya desentralisasi juga dilakukan terhadap aspek pengelolaan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Desentralisasi di Indonesia, sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan daya saing daerah. Selain itu Undang-Undang tersebut juga menguraikan pendelegasian wewenang dalam desentralisasi di Indonesia. Dari perspektif ekonomi politik, desentralisasi diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, mengurangi angka kemiskinan, serta mendesentralisasikan pengambilan kebijakan terkait secara ekonomi dan wewenang anggaran kepada pemerintah daerah.

Pembangunan wilayah antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) telah menimbulkan kesenjangan yang menjadi masalah bersama. Hasil penelitian Nurzaman (1997) menunjukkan bahwa kesenjangan antara kedua wilayah tersebut tidak tampak di semua aspek, tetapi hanya signifikan di bidang ekonomi saja. Indikator yang digunakan dalam bidang ekonomi adalah: 1). Total pendapatan per kapita; 2). Pertumbuhan pendapatan per kapita 3). Tingkat partisipasi angkatan kerja 4). Nilai tambah manufaktur sebagai persentase dari PDRB provinsi; 5). Persentase angkatan kerja manufaktur dalam total angkatan kerja provinsi 6).Tingkat kumulatif penanaman modal dalam dan luar negeri;7). Persentase penduduk yang tinggal di perkotaan; dan 8). Panjang jalan provinsi/10.000 kilometer persegi.

Di bidang sosial, kesenjangan dapat dilihat oleh indikator-indikator berikut: 1).Physical Quality of Life Index 2). Jumlah murid yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) dibandingkan dengan jumlah penduduk; 3). Persentase tenaga kerja dengan gelar minimal D3 4). Rasio guru SD  per 10.000 siswa 5). Rasio dokter per 10.000 penduduk dan 6). Rasio tempat tidur rumah sakit per 10.000 orang.
Berdasarkan indikator-indikator tersebut, terlihat jelas perbedaan yang signifikan antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, yaitu rata-rata indeks KBI dan KTI adalah 108,2-81,5 (1971), 110,7-75,9 (1980), dan 112,9-72,2 pada tahun 1990 (Nurzaman, 1997). Namun, jika masing-masing sektor ekonomi dipecah, sektor gas bumi, minyak dan pertambangan memberikan kontribusi yang signifikan di provinsi Sumatera Selatan (minyak dan batu bara), Papua (tembaga, emas), dan Sulawesi (nikel). Sementara itu, jasa keuangan, perbankan, manufaktur, konstruksi, konstruksi, transportasi, komunikasi, dan lain-lain hanya terkonsentrasi di provinsi-provinsi maju seperti DKI Jakarta dan Jawa.

  Desentralisasi menimbulkan permasalahan baru berupa kesenjangan dalam pembangunan dan kesejahteraan. Ide dasar dari desentralisasi adalah optimalnya daya serap anggaran untuk pembangunan daerah dengan didelegasikannya wewenang baik secara kebijakan maupun pengelolaan keuangan ke pemerintah daerah namun pada faktanya progres pembangunan di tiap-tiap daerah berbeda-beda, disinilah timbulnya kesenjangan dan kesejahteraan di daerah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai rata-rata Indeks Pembangunan di Indonesia pada tahun 2021 berada di angka  72,29. Dari aspek IPM ini kita bisa melihat bagaimana kesenjangan dan inefisiensi dari desentralisasi di Indonesia dengan melihat kabupaten kota yang ada di bawah nilai rata-rata. Kabupaten kota di daerah Indonesia timur seperti di Papua, Maluku dan Nusa Tenggara mendominasi daerah dengan nilai dibawah rata-rata. Namun yang mengejutkan daerah yang berada di pulau jawa seperti Lebak, Pandeglang, dan Tasikmalaya berada di bawah rata-rata dengan masing masing di angka 64,03 (Lebak), 65,17 (Pandeglang), 65,90 (Tasikmalaya). Hal ini tentu mengejutkan mengingat ketiga daerah tersebut berada di pulau jawa yang notabenenya dekat dengan ibukota dan memiliki akses yang cukup baik terhadap infrastruktur serta fasilitas-fasilitas yang tidak berbeda jauh dengan kabupaten/kota lainnya di pulau jawa. Data diatas merupakan bukti kesenjangan pembangunan yang terjadi seiring berjalannya desentralisasi.

Meskipun Tasikmalaya, Lebak, dan Pandeglang termasuk kedalam wilayah yang dekat dengan pusat pembangunan, namun rendahnya IPM tersebut menunjukan pemerintah di daerah tersebut tidak mampu mengoptimalkan otonomi daerah yang dia dapatkan. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, namun alasan utama tidak optimalnya otonomi daerah adalah rendahnya daya serap anggaran serta buruknya perencanaan pembangunan daerah oleh pemerintah daerah. Selain faktor tersebut, maraknya korupsi di skala pemerintahan daerah memperburuk pengelolaan dana serta kredibilitas eksekutif daerah tersebut. Sebagai contoh bagaimana kasus korupsi Ratu Atut sebagai Gubernur Banten yang berhasil ditelusuri sampai saat dia masih menjabat Bupati Lebak menunjukan bahwa ketidakmampuan kepala daerah untuk mengelola wilayahnya merupakan Variabel utama yang menciptakan faktor-faktor penyebab turunan yang dipaparkan di atas sehingga desentralisasi tidak efektif dan menimbulkan kesenjangan.
Variabel kedua yang menciptakan faktor-faktor lain sehingga menyebabkan permasalahan dalam desentralisasi adalah buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Buruknya koordinasi tersebut biasanya disebabkan oleh perbedaan kubu kekuatan politik, dimana pemerintah pusat dan daerah seringkali dihadapkan pada situasi dimana keduanya merupakan pihak yang berseberangan dalam koalisi politik. Sehingga wajar apabila banyak konflik kepentingan serta perbedaan visi yang terjadi dalam koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Contoh yang paling mencolok dari fenomena ini adalah Provinsi DKI Jakarta, dimana Anies seringkali berseberangan dengan Pemerintah Pusat mengenai pengelolaan wilayah di daerah. Imbas dari fenomena tersebut menyebabkan faktor-faktor turunan dalam permasalahan desentralisasi seperti tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah, perbedaan prioritas dalam perencanaan pembangunan, birokrasi yang semrawut, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun