Mohon tunggu...
penahimpunan
penahimpunan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Membaca, Menulis, Mendengar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tragedi 21 September: Luka Demokrasi dan Catatan Gagalnya Tata Kelola Tambang di Pohuwato

21 September 2025   16:11 Diperbarui: 21 September 2025   16:13 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Moh. Irfandi Djumaati, Ketua Bidang PAO HMI Cabang Pohuwato Periode 2023-2024 dan Kantor Bupati Pohuwato Saat Tragedi 21 September 2023.

Oleh: Moh. Irfandi Djumaati (Instruktur HMI Cabang Pohuwato)

Sebagai kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya menilai Tragedi 21 September 2023 di Kabupaten Pohuwato bukan sekadar kericuhan antara masyarakat dan aparat, melainkan indikator runtuhnya tata kelola pemerintahan dalam mengatur sektor pertambangan. Ribuan warga kala itu turun ke jalan bukan tanpa alasan. Mereka menuntut hak atas tanah, ruang hidup, dan hak keberlanjutan lingkungan yang selama ini dirampas oleh praktik tambang yang dibiarkan tanpa regulasi berpihak.

Api yang membakar Kantor Bupati Pohuwato adalah simbol puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat, yang merasa dikhianati oleh pemerintah daerah. Sayangnya, dua tahun berlalu, publik tidak pernah mendapat jawaban tuntas. Apakah ada pemulihan korban, para aktivis yang ditahan dalam penjara, serta penyelesaian konflik, atau kebijakan baru yang mencegah tragedi serupa? Semua seakan dibiarkan menguap, menyisakan trauma kolektif ataupun tekanan psikologis yang diwariskan kepada generasi hari ini.

Ironisnya, kini di tahun 2025, pemerintahan masih dijalankan oleh rezim yang sama. Pertanyaan mendasar yang wajib dijawab: Apakah mereka belajar dari tragedi 21 September? Atau justru masih mengulang pola lama dengan membiarkan konflik tambang tetap menjadi bara dalam sekam?

Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak keluhan pencemaran lingkungan, pembatasan akses masyarakat di wilayah tambang, hingga dugaan pungutan liar. Padahal, jika mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), pemerintah daerah berkewajiban menjamin hak masyarakat atas lingkungan yang sehat (Pasal 65). Begitu juga UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan pengawasan ketat terhadap pelaku usaha tambang agar tidak merugikan rakyat dan ekosistem. Fakta bahwa keluhan masih terjadi, menandakan regulasi ini hanya berhenti di atas kertas, tanpa implementasi yang nyata.

Sejak tragedi itu hingga hari ini, serta sudah lebih dari 7 bulan 211 hari pasca pelantikan incumbent, tetapi akar persoalan belum disentuh. Pemerintah lebih sibuk dengan pencitraan pembangunan infrastruktur ketimbang menghadirkan keadilan ekologis, sosial, dan keadilan ekonomi. Padahal, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas mengatur bahwa salah satu fungsi otonomi daerah adalah melindungi kepentingan masyarakat lokal dan menjamin keberlanjutan lingkungan hidup.

Sebagai kader HMI, perlu ditegaskan bahwa tragedi 21 September seharusnya menjadi momentum pembenahan tata kelola pertambangan di Pohuwato, baik yang legal maupun ilegal, baik yang dikuasai korporasi perusahaan maupun penambang lokal. Solusi jangka panjang wajib dirumuskan, dengan regulasi berpihak pada masyarakat, pengawasan lintas sektor yang transparan, serta distribusi manfaat ekonomi yang adil. Tanpa semua itu, tragedi serupa hanya menunggu waktu untuk terulang kembali.

Hari ini publik wajar mempertanyakan: Apakah pemerintah daerah berani menutup luka 21 September dengan kebijakan nyata? Apakah ada itikad politik untuk mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan para pemodal kapitalis? Jika jawabannya tidak, maka jelas rezim incumbent sedang melestarikan ingatan pahit itu sebagai warisan nyata dari kegagalan.

Sebagai kader organisasi perjuangan, perlu ditekankan juga, Tragedi 21 September bukan untuk dilupakan. Hari itu adalah pengingat bahwa demokrasi tanpa keberpihakan pada rakyat kecil hanyalah sebuah ilusi. Pemerintah daerah masih punya kesempatan untuk memperbaiki, tetapi waktu terus berjalan. Jika tidak ada solusi konkret, sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai aktor penyelesaian masalah, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun