Mohon tunggu...
Ahmad Mutiul Alim
Ahmad Mutiul Alim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tertarik pada semua gejala sosial dan agama. Suka Travelling, Musik, dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Dia Sang Tokoh Antagonis Kabinet Kerja

9 April 2016   11:09 Diperbarui: 9 April 2016   11:23 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam cerita apa pun, selalu saja ada yang mengambil peran jahat atau yang biasa kita sebut tokoh antagonis. Peran ini kita harus akui memang diperlukan demi menambah greget suatu cerita. Tapi kalau dibiarkan lama-lama akan menjadi duri dalam daging. Semacam asam urat begitulah, tak terlihat tapi baru terasa ketika melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Ya, dalam beberapa kesempatan, beginilah peran sang tokoh antagonis. Diam, tak terlihat, namun pelan-pelan menghancurkan isi cerita yang sudah terkonsep sedemikian rupa. Cerita yang awalnya dikira happy ending, lalu dibelokkan menjadi akhir kisah sedih oleh sang tokoh. Lalu, penonton hanya bisa geram dan menyumpah tokoh antagonis ini. Tak lain tak bukan. Pasif, layaknya daun kepada sang angin, layaknya tanah kepada hujan, atau seperti jomblo kepada nasib. Hehehe maaf yang terakhir agak serius!

Nampaknya alur semacam ini tidak hanya bisa kita saksikan di film-film layar lebar. Nusantara kita yang terbentang dari Sabang sampai Merauke banyak menyimpan kisah-kisah semacam ini. Sejak Jokowi-JK dilantik sebagai orang nomor satu di negeri ini pada Oktober 2014, kini para pelaku sandiwara sudah mulai berani menampakkan batang hidungnya. Tentu, pelaku yang kita maksud mengambil peran antagonis yang menurut penulis tampak sangat menyebalkan. Jika saja mengambil peran protagonis (baik), pasti tidak akan kita bahas disini. Karena ibu pertiwi memang membutuhkan stok orang-orang baik, dalam rangka memelihara negara yang baru 70 tahun merdeka ini dari jamahan tangan-tangan yang centil dan haus kekuasaan.

Mengusung kabinet kerja, bukan suatu visi-misi kelas teri bagi pemerintahan Jokowi-JK. Membawa nama kabinet kerja dimaksdkan agar para pelayan rakyat yang tergabung dalam paket menteri pembantu presiden, melakukan tugasnya dengan baik dan maksimal. Talk less do more, begitu kata salah satu iklan rok*k yang menganalogikan bahwa bekerja sebagai abdi negara harus dipenuhi kesungguhan dan tanggung jawab. Bagai sebuah tim kesebelasan, Tim RI yang diisi oleh Jokowi dan para pembantunya, tengah berjuang meraih kemenangan. Berbekal keinginan untuk menang saja tidak cukup, harus ada soliditas yang kuat diantara seluruh punggawa tim. Namun, apa jadinya jika misi besar ini tidak dipahami dengan baik oleh salah seorang individu? Atau bahkan individu ini bersekongkol dengan anggota diluar tim, sehingga akan rentan sekali mengoyak tatanan tim yang sudah utuh.

Beginilah kisah yang tengah berkembang di tubuh pemerintahan Jokowi-JK. Sudah bosan rasanya saya mendengar presiden meminta para menterinya untuk tidak gaduh, yang otomatis akan menampilkan soliditas lemah diantara para pekerja kabinet, serta memecah konsentrasi para menteri dalam menjalankan tugasnya. Sebut saja Pramono Anung selaku seskab yang akhir-akhir ini ikut meributkan persoalan reshuffle kabinet. Memang, tidak ada pernyataan langsung yang menyatakan bahwa Pram ingin presiden melakukan pergantian. Presiden pun sudah kukuh menyatakan dirinya tak mau didikte oleh pihak mana pun terkait susunan timnya. Sayangnya, Pram seolah ngotot dan tidak tahu malu dalam hal ini.

Mengincar kursi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Pramono Anung, pria kelahiran Kediri 1963 ini memang sudah menampakkan gelagat tidak beres sejak naik diangkat sebagai Sekertaris Kabinet Jokowi-JK. Jauh sebelum isu reshuffle digulirkan, Pram sudah aktif menyoroti berbagai isu desa. Bahkan 17 Maret yang lalu diketahui Bapak Seskab ini mengadakan seminar yang bertajuk Evaluasi Dana Desa di salah hotel di Bandung. Tentu hal ini sangat janggal bin aneh, mengingat apa yang dilakukan oleh Pram diluar tupoksinya sebagai seskab, sehingga Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis menganggap Pram offside. Tindakan seronok Pram lainnya yang dianggap menyalahi wewenang adalah menerima perwakilan pendemo eks PNPM yang menuntut dijadikan pendamping desa tanpa seleksi masuk ke istana. Tidak lama setelah Pramono menerima perwakilan pendemo tersebut, Seskab membuat rilis di website setkab.go.id yang isinya mengoreksi, mengkritik serta mengevaluasi kinerja Kementerian Desa. Sungguh tak elok untuk dilihat lantaran perihal urusan rumah tangga kabinet sebaiknya disampaikan dalam Rapat Terbatas (Ratas) atau rapat internal pemerintah. Dan sekali lagi, Pram offside.

Tindak-tanduk Pramono Anung ini sungguh mengganggu jalannya pemerintahan. Dan hebatnya Pram tidak melakukan ini untuk dirinya, melainkan menyiapkan tempat bagi rekannya Budiman Sudjatmiko untuk menggantikan posisi Menteri Desa PDTT, yang saat ini diisi oleh Marwan Jafar. Bahkan dalam tulisan di Tempo edisi Senin 4 April 2016, Pramono dikabarkan sempat bertemu Budiman Sudjatmiko di istana. Dalam sumber yang lain juga disebutkan bahwa Pramono hendak meyakinkan Megawati untuk mengawal langkah Budiman sebagai suksesor Marwan Jafar.

Peran antagonis yang diambil oleh Pram ini tentu menyulitkan pemerintah. Pemerintahan yang saat ini tengah gigih mengejar target-target demi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara nasional, bisa jadi tersita dengan isu reshuffle yang dihembuskan oleh Pramono. Meskipun Presiden Jokowi sudah menekankan tidak mau didikte oleh siapa pun, namun jika Pramono masih sibuk memuluskan rencananya colak-colek posisi Menteri Desa, maka stabilitas kerja tim akan terganggu. Terlebih pernyataan ‘panas’ Andreas Hugo Pareira selaku Ketua DPP PDIP menyatakan bahwa PDIP melalui fraksinya di DPR pada 2014 menginisiasi lahirnya UU Desa, sehingga posisi menteri desa sebaiknya diisi oleh orang-orang yang mengerti semangat Nawacita dan UU Desa (Padahal sebagaimana kita tahu bahwa Marwan Jafar yang saat ini menjadi Menteri Desa juga bertindak sebagai aktor dalam perumusan UU Desa tersebut).

Pernyataan Ketua DPP PDIP tersebut semakin membuat persoalan semakin membuncah. Bagaimana tidak, pemerintahan yang menganut sistem presidensial tidak boleh diintervensi oleh kepentingan partai politik penguasa parlemen(sistem parlementer). Jika tak cepat disadari, maka bisa saja Jokowi sebagai kepala negara direcoki oleh kepentingan-kepentingan pragmatis yang diusung oleh para pembantunya yang masih belum up to date dan ngeh bahwa sistem pemerintahan saat ini tengah menganut sistem presidensial. Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun