Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Hidup Bahagia dan Bahaya Merasa Sepi

31 Oktober 2020   20:48 Diperbarui: 1 November 2020   12:28 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (source: pexels.com)

Kebahagian Sebagai Jalan Hidup

Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam kesepian. Namun, jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa menghancurkan manusia.

Kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh, guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup. Banyak orang takut kesepian, karena itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Sehingga, orang takut dengan kesendirian.

Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang memiliki keluarga dan memiliki sahabat sekalipun juga merasa kesepian. Dari sini kita melihat bahwa kesepian dan kesendirian memang memiliki kaitan satu sama lain, namun juga bukan berarti bahwa kesepian dapat berarti kesendirian. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah apa yang ada dalam diri kita, yaitu tentang apa yang kita rasakan.

Apakah hati atau jiwa kita merasa bahagia atau tidak. Oleh karena itu, apakah seseorang yang hidupnya penuh kebahagiaan pernah merasa sepi sekalipun ia sendirian dan jauh dari keramaian? Kurasa tidak.

Bahagia pada dasarnya adalah tentang apa yang kita persepsikan. Kebahagiaan itu tidak dicari, namun diciptakan. Mengapa? Karena bilamana kebahagiaan itu bisa dicari ataupun dibeli, mungkin hanya mereka yang punya uang yang akan memiliki kebahagiaan.

Tapi mungkin ada pertanyaan yang mengatakan bahwa "Bagaimana dengan mereka yang bahagia karena pergi ke mall, shooping, pergi ke salon, pergi liburan ke luar negeri? Bukankah itu karena uang?". 

Pertanyaan atau pandangan tersebut sama sekali keliru dalam memahami konsep kebahagiaan, apakah mereka tidak akan bahagia jika mereka tidak bisa pergi jalan-jalan, shooping, ataupun pergi ke salon karena tidak ada uang? Tentu inilah yang juga akan menjadi sumber masalah, karena berawal dari pola pikir yang salah yaitu merasa bahwa kebahagiaan hanya akan ada apabila apa yang diinginkan terpenuhi.

Hidup yang bahagia menyentuh tiga tingkatan. Pertama adalah hidup yang bernilai dari kaca mata pribadi. Artinya, kita menganggap cara hidup kita itu penting dan menarik untuk diri kita sendiri.

Kedua adalah cara hidup tersebut tidak hanya bernilai secara pribadi, tetapi juga bermakna untuk orang lain. Orang lain terbantu dengan cara hidup yang kita pilih. Adapun yang ketiga adalah, hidup kita lalu bergerak terlepas dari nilai pribadi dan makna sosial. Kita melampaui diri pribadi serta tuntutan sosial, dan menjadi bebas sepenuhnya. 

Hidup kita lalu menjadi alamiah sepenuhnya, serta mampu menanggapi segala keadaan yang terjadi secara tepat. Inilah yang saya sebut dengan kebahagiaan sebagai pencerahan batin. Hegel, filsuf Jerman abad 19, menyebut hidup yang bernilai secara pribadi sebagai moralitas, dan hidup yang bermakna sosial sebagai hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun