Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lockdown atau Kita #Dirumahaja

30 Maret 2020   13:03 Diperbarui: 30 Maret 2020   13:09 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"WILL go away if people stay calm". Andaikan semua kita, tetap tenang, saatnya nanti juga akan pergi. Seperti itu reaksi Donald Trump dikala Covid-19, si Coronavirus masih berstatus epidemic. 

Namun dikala WHO mulai membaptisnya sebagai pandemic -- bahkan negeri Paman Sam itu kini menjadi epicentrumnya -- manusia seisi bumi ini bersama pemerintahan masing-masing, sontak siaga. Malah panik. Serta merta mengambil sikap "Social Distancing". Sebagian me-"Lockdown".

Semua tau vaksin pemulihnya belum ada. Pilihan satu-satunya, terutama di kawasan Eropa, dan sekian negara lain, masyarakat beramai memborong tisu toilet. Lalu masker juga hand sanitizer. Barang sejenis itu, akibatnya hilang dipasaran. 

Lalu di Indonesia, politisi khususnya, menjadikan peluang propaganda. Meskipun kata Regina Phelps, pendiri Emergency Management and Safety Solutions San Fransisco, bukan barang mendesak. "Mencuci tangan pakai deterjen, pun efektif".

Kala daratan lain di muka bumi lagi berjibaku beralaskan kemampuan tempur dimiliki, Tiongkok kini malah berleha-laha. Padahal, muasal Covid-19, si Coronavirus itu, dari sana. 

Lalu sekira apa resepnya? Lockdown! Karantina kewilayahan. Hanya sebegitu dipahami. Ayal, maka beramailah tiap negeri yang dirayapi si Corona, menghimbau; "Social Distancing". Akibat terdesak, tak mau tahu apa risiko bakal ditanggung kemudian, rakyat meminta. Tolong berlakukanlah "Lockdown".

Di Amerika Serikat, semasih berstatus "Social Distanding", pra- "Lockdown", sebagian warganya -- terutama Yahudi --  antri bukan untuk membeli tisu toilet, masker, atau hand sanitizer.

Seram, tak percaya. Membeli senjata! Buat apa? "Menghadapi, masa Lockdown", jelas mereka. Dugaan saya, "Black Death" menjadi trauma mendalam bagi mereka. Pertengahan abad 14 (1347-1351) pandemic "pes" melenyapkan sepertiga, malah duapertiga populasi masyarakat kawasan Eropa.

Kejadian yang oleh para penulis kontemporer menyebutnya "Great Mortality". Kematian akbar, musabab para dokter dikala itu, kehilangan daya abstraksi mengurai "asbabun nuzul", penyakit sampar itu. Risikonya, masyarakat panik. 

Kehilangan nalar sehat. Orang-orang Yahudi, tertuduh yang menaburi racun di sumur-sumur. Juga para pendatang, peziarah, pengemis, malahan para biarawan. Dan mereka, kelompok tertuduh itu kemudian diamuk massa. Ribuan yang terbunuh.

Puluhan buku mengulas kisahnya. Saya menamatkan "La Peste" novel Albert Camus, diterjemah Nh Dini, "Sampar". Belakangan ditahu, pandemic pes itu --- lagi-lagi -- mula berasalnya, juga dari Hubei, Tiongkok. Aneh, sama muasal si Corona. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun