Mohon tunggu...
Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri Mohon Tunggu... Politisi - pekerja politik

Menuliskan gagasan karena ada rekaman realitas yang menggayut di benak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Partai Golkar Tanpa "Pemilik"

19 Desember 2019   07:01 Diperbarui: 19 Desember 2019   07:03 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal Desember 2019, Partai Golkar menunaikan forum pengambilan keputusan tertinggi. Melalui Munas X itu, dihasilkan banyak putusan, salah satunya -- akibat tak punya kandidat penantang -- secara aklamasi menyepakati Airlangga Hartarto untuk kembali memimpin DPP Partai Golkar, sebagai Ketua Umum periode lima tahun ke depan.

Sepanjang era reformasi, inilah kali pertama Munas Partai Golkar berlangsung sempurna tanpa riak. Mulus menghasilkan Ketua Umum tanpa tanding. Jauh beda sekian kali munas sebelumnya, selalu dilumuri pertentangan diantara tim. Pertarungan kandidat yang sama kuat, serta kekuatan-kekuatan lain masing-masing dimiliki.

Saking dinamisnya, sepanjang era reformasi, Golkar pernah menghadapi kepemimpinan kembar dari "Munas Kembar 2014", antara kubu Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Dan sebelum Munas X-2019, dua kali terjadi Munaslub. Satunya 2016, mensahkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum. Dan satunya lagi 2017, mensahkan Airlangga Hartarto.

Dilema Era Reformasi

Dinamika yang tak pernah lepas merundung Partai Golkar itu, musabab sebenarnya selain karena faktor internal Golkar sebagai konsokuensi atas keberadaanya sebagai partai front gabungan golongan, tak bisa dilepas atas faksi-faksi. Sisi lain yang sulit dipungkiri, karena faktor syahwat eksternal -- kekuasaan pemerintah -- sedang berkuasa di setiap masanya.

Beda di masa Orde Baru, dimana Golkar menjadi partai penguasa, bahkan juga sulit dipungkiri untuk mengelak apa dikata pengamat, Golkar partainya penguasa. Dibuktikan struktut Dewan Pembina, yang dalam AD/ART Golkar memiliki kewenangan tertinggi. Dan Ketua Dewan Pembina adalah Soeharto, tak lain adalah Presiden, Kepala Pemerintahan.

Sebab itu, di masa Orde Baru, hubungan antara kepentingan kekuasaan pemerintah dan Golkar itu sendiri, berjalan harmonis dan selaras. Pun jika terjadi pertentangan antar faksi golongan-golongan di internal, Golkar sangat mudah menjinakkannya secara internal pula.

Jauh beda di era reformasi, dimana Golkar bukan lagi partai penguasa. Selama enam kali pemilu, Golkar hanya sekali tampil menjadi peringkat teratas pemenang Pemilu 2004, selebihnya hanya peraih kursi kedua di DPR/MRP-RI. Sementara dukungan pasangan Pilpres, hanya Pilpres 2019, Partai Golkar berada di pihak pemenang, selebihnya di pihak yang kalah.

Risikonya - khususnya pasca pelaksanaan Pilpres - Golkar selalu terombang-ambing, berada dalam posisi ketidakpastian terhadap dukungan politiknya kepada kekuasaan terpilih.  Dan faktanya, justru arus kekuasaan lebih deras mengalir, mencampuri urusan internal Golkar.

Dilema Masa Depan

Apa boleh buat, risiko politik seperti itu -- mau tak mau -- akan terus diperhadapkan dengan Golkar di masa-masa akan datang. Dan Partai Golkar -- siap tak siap -- harus memiliki modal kuat untuk menghadapinya secara terhormat di setiap fase. Sedikit salah arah, membawa Golkar masuk ke dalam jurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun