Mohon tunggu...
Amry Muhammad
Amry Muhammad Mohon Tunggu... Lainnya - Urban and Regional Planning

Urban and Regional Planning Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dinamika Permasalahan Laut Indonesia

13 Oktober 2020   00:49 Diperbarui: 13 Oktober 2020   00:57 1769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Data mencatat bahwa lautan berkontribusi sebesar 2,5 triliun dolar AS terhadap perekonomian global setiap tahun, menjadi sumber pangan bagi 3 miliar penduduk, merupakan rumah bagi lebih dari separuh spesies dunia, menghasilkan separuh dari oksigen di planet, dan menyerap seperempat emisi karbon dioksida. Negara kita merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.000 dan panjang pantai 81.000 Km. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan berjuta potensi wisata pantai dan kekayaan biota laut yang beragam. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki daya tarik wisata yang besar di mancanegara, sebut Bali, Lombok, Raja Ampat dan beberapa lokasi lainnya. Potensi kekayaan Indonesia dari hasil laut sebesar USD 1,4 Trilliun per tahun dimana jumlah ini lebih besar 5 ikali lipat dari APBN. Selain itu, potensi ini juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan sekitar 45 juta atau 35% dari total angkatan kerja (Liputan6.com). Namun sistem dan tata kelola potensi yang belum optimal mengakibatkan pemanfaatan sektor ini terbilang kecil.

Beragam potensi ini sudah seharusnya menjadi solusi terhadap pengentasan kemiskinan sekaligus pengurangan jumlah pengangguran yang saat ini jumlahnya naik akibat pandemi Covid-19 yang saat ini masih terus terjadi. Kawasan perairan Indonesia seakan-akan kurang mendapat perhatian dari Pemerintah, hal ini ditandai dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi terkait dengan laut Indonesia. Lautan yang sejatinya merupakan harta besar bagi indonesia tapi saat ini terancam bahaya. Beberapa permasalahan yang terjadi antara lain perubahan iklim global, pemcemaran sampah plastik di laut dimana Indonesia menjadi peringkat kedua penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua setelah Cina (Jambeck et al., 2015), Illegal fishing, eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan, tata kelola dan penegakan hukum yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan- permasalahan ini tentu saja akan berdampak panjang pada kelestarian laut Indonesia. Dilansir oleh mongabai.co.id berdasarkan analisis yang keluarkan oleh kelompok LSM KORAL (Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan) yang menilai bahwa pengelolaan laut saat ini hanya berfokus pada percepatan investasi maritim dengan menggandeng berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri dimana hal ini dianggap sangat berpotensi untuk menimbulkan krisis ekologi dan ketidakadilan sosial. Lebih lanjut tentang pengeolaan laut, KORAL menilai bahwa ada ketidakpedulian pemerintah terhadap sejumlah masalah yang timbul saat ini seperti kerusakan mangrove, terumbu karang, reklamasi dan masih banyak lagi. Tentunya hal ini menjadi ungent untuk diselesaikan karena menyangkut keberpihakan dan keberlangsungan hidup kelompok masyarakat marjinal sektor kelautan dan perikanan.

Laut menjadi rumah bagi bagi sekitar 2,7 juta nelayan indonesia (KKP tahun 2017) yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Namun, dari jumlah yang hampir 3 juta penduduk ini mayoritas dari mereka masih berada di bawah garis kemiskinan dan menyumbang 25% angka kemiskinan nasional. Kompleksitas permasalahan yang terjadi berdampak langsung pada kondisi ekonomi masyarakat ditambah lagi kondisi pandemi saat ini memukul perekonomian nasional sehingga turut menurunkan daya beli masyarakat di sektor perikanan dan kelautan. Salah satu permasalahan yang memberikan dampak pada tingkat pendapatan para nelayan adalah Illegal fishing atau penangkapan ikan secara ilegal. Permasalahan ini sudah menjadi highlight di media massa beberapa tahun belakangan ini.

Secara harfiah Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; bertentangan dengan peraturan nasional dan/atau kewajiban internasional; dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut, atau ketentuan hukum internasional..Penangkapan ikan secara ilegal ini adalah bentuk perebutan kedaulatan negara terhadap wilayah lautnya sehingga diperlukan keseriusan untuk menangani hal ini. Dimata dunia illegal fishing dianggap sebagai kejahatan transnational crime. Dalam studi hubungan internasional Politik Global dalam Teori dan Praktik oleh Aleksius Jemadu, illegal fishing dapat diketegorikan sebagai salah satu bentuk transnational crime, karena dalam kegiatan ilegal tersebut terkandung beberapa aspek sebagaimana tercakup dalam pengertian transnational crime dan melibatkan beberapa negara. Transnational crime itu sendiri sering diartikan sebagai suatu bentuk kejahatan lintas batas yang mencakup empat aspek, yakni: 1) dilakukan di lebih dari satu negara, 2) persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain, 3) melibatkan organized criminal group di mana kejahatan dilakukan di lebih satu negara, 4) berdampak serius pada negara lain (Monica Serrano, 2002). Lembaga Pangan dunia PBB (FAO) mengatakan bahwa sektor perikanan dan kelautan adalah sektor yang penting dan masuk dalam sektor biru (blue sector). Di Asia Pasifik, dimana sebanyak 87 persen warga di masing-masing negara masih bergantung pada sektor biru.

Dilansir oleh media detik.com masalah pencurian ikan (illegal fishing) oleh pemerintah kurang mendapat porsi yang cukup memadai. Padahal, menurut data kerugian akibat dari aktivitas illegal fishing di seluruh dunia mencapai USD 9 miliar per tahun. Menurut laporan Indonesia diperkirakan mengalami kerugian hingga USD 2 miliar atau sekitar Rp 19 triliun per tahun. Dengan kata lain 22 persen produksi illegal fishing di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Bahkan, menurut sumber lainnya menyebutkan kerugian Indonesia jauh lebih besar yakni antara Rp 30 - 40 triliun setiap tahunnya akibat illegal fishing tersebut. Sehingga illegal fishing menjadi musuh tidak hanya untuk Indonesia tetapi berbagai negara secara global. Dari jurnal berjudul Illegal Fishing  Di Perairan Indonesia : Permasalahan Dan Upaya Penanganannya Secara Bilateral, Illegal fishing yang bersifat lintas batas antar negara ini tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomi dan sosial bagi Indonesia, tetapi juga dapat mengganggu hubungan politik secara bilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga di kawasan (Asia Tenggara) yang para nelayannya sering memasuki dan menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat dari oktober 2014 -- agustus 2018 telah terdapat 488 kasus ilegal fishing dimana mayoritas diantaranya dilakukan oleh negara -- negara tetangga Seperti Vietnam , Thailand, Filipina dan Malaysia.

Lebih lanjut, beberapa penyebab mengapa perairan indonesia begitu mudah disusupi oleh pihak seperti dilansir oleh detik.com bahwa potensi perikanan indonesia yang sangat besar didukung letak georafis dan laut yang luas menjadikan wilayah Indonesia rawan untuk terjadi illegal fishing. Beberapa daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru, Laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera Hindia). Keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana penunjang menyebabkan beberapa titik tersebut sangat sulit untuk diawasi ditambah lagi daerah tersebut memiliki luasan yang besar menambah tantangan untuk memberantas praktik Illegal Fishing yang terjadi. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) saat ini jumlah kapal pengawas yang dimiliki berjumlah 34 Kapal. Jumlah itu masih terbilang sedikit untuk mengawasi laut indonesia. Dengan luas wilayah laut yang begitu besar seharusnya Indonesia membutuhkan paling sedikitnya 90 kapal untuk mengawasi perairan Indonesia. Hanya dengan begitu kasus illegal fishing yang tidak terkendali dapat diminimalkan.

                Orientasi pembangungan yang terjadi selama ini lebih berfokus pada daratan yang menjadikan pemerintah seolah abai terhadap segala permasalahan yang terjadi di wilayah lautan. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan yang terjadi antara pemanfaatan ruang darat dan ruang laut. Sehingga perlu ada usaha lebih dari pemerintah untuk memperjuangkan dan mengatasi permasalahan ini. Isu tentang illegal fishing ini telah di bahas di beberapa forum dunia dan menjadi pembahasan penting beberapa tahun terakhir. Permasalahan Illegal Fishing juga berkaitan dengan Unreported dan Unregulated Fishing atau biasa dikenal dengan IUUF serta Kejahatan Perikanan Lintas Negara (transnational organized fisheries crime/TOFC).  
                Dalam rangka penguatan sistem dan mengatasi permasalahan di bidang IUUF dan TOFC, pemerintah indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan solusi dalam forum dunia yang berfokus pada pengembangkan dan mendukung solusi untuk kesehatan dan kekayaan laut dalam hal kebijakan, tata kelola, teknologi, dan keuangan. Diikuti 14 pemimpin negara dari seluruh  dunia,  kegiatan ini  mendukung Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan membangun masa depan yang lebih baik untuk masyarakat dunia.

                Indonesia memiliki gagasan terhadap dua persoalan ini yang dituangkan dalam bentuk catatan hasil analisis yang diberi nama Blue Paper 15 yang khusus menyikapi permasalahan IUUF dan Blue Paper 16 untuk permasalahan TOFC. Blue Paper merupakan dokumen yang akan menjadi dasar bagi negara-negara anggota HLP dalam mengambil kebijakan untuk implementasi praktik perikanan yang berkelanjutan. Blue Paper 15 berisi rekomendasi dan solusi mengenai permasalahan --permasalahan meliputi modus praktik IUUF berupa transshipment at-sea alias alih muat kapal di laut, penggunaan flags of convenience di laut lepas untuk menghindari pemantauan dan penegakan hukum, dan ports of convenience untuk menghindari inspeksi yang ketat pada wilayah ZEE maupun laut lepas, kelemahan sistem pengelolaan laut yang ada pada saat ini. Selain itu, Blue Paper 15 membahas mengenai permasalahan lainnya yang mengancam keamanan maritim, seperti tindak pidana penyelundupan secara ilegal, perdagangan orang, perbudakan, dan pembajakan. Solusi yang ditawarkan untuk membenahi permasalahan diatas menitik beratkan pada pembentukan norma dasar yang diterima dan disepakati dunia internasional dan pembenahan sistem pengawasan dan validasi berbasis digital untuk meminimalisir tindakan pelanggaran serta membangun kerjasama yang baik antara negara pantai (Coastal State) dan negara pasar (Market State).

                Sedangkan Blue Paper 16 berisi bahasan tentang kejahatan yang terjadi lintas perbatasan negara dan melibatkan kelompok atau jaringan yang bekerja di lebih dari satu negara untuk merencanakan dan melaksanakan bisnis ilegal. Kejahatan terorganisir lintas negara yang dimaksud meliputi pencucian uang, suap, penyelundupan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perpajakan, penyelundupan barang, dan sebagainya. Salah satu yang perlu kita garis bawahi adalah penyelundupan narkoba. Berdasarkan data dari Bea Cukai Indonesia, sepanjang tahun 2019 ditemukan 440 kasus penyelundupan narkoba dimana 66 kasus diantaranya melalui jalur transportasi laut. Jumlah ini menjadi yang terbanyak sejak tahun 2015. Hal ini sejalan dengan data Badan Narkotika Nasional atau BNN, jumlah pengguna narkoba pada 2019 meningkat 0,03% menjadi 3,6 juta orang. Blue Paper 16 memberikan solusi yang mengharuskan adanya kesamaan pemahaman terhadap tindak kejahatan TOFC sehingga mendorong adanya penguatan keamauan politik (Political Will) bagi negara-negara di dunia untuk menyusun peraturan perundang-undangan dan lembaga penegakan hukum yang efektif.

                Sebagai kesimpulan, selain solusi yang ditawarkan oleh pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, ada sisi lain yang juga penting sebagai dasar pencegahan tindak pelanggaran IUUF yaitu perencanaan laut kita. RZWP3K sebagai dasar rencana pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan ruang laut perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah dikarenakan berdampak langsung pada pengembangan wilayah dan keberlangsungan kehidupan kelompok marjinal nelayan. Data dari Dinas KKP mencatat dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, baru 21 provinsi yang memiliki dokumen RZWP3K artinya masih perlu adanya pendampingan terhadap penyusunan dokumen tersebut di 13 provinsi lainnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong percepatan pembangunan ruang laut dan meningkatkan ketahanan ekologi dari krisis ekonomi global yang mengintai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun