Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Tak ada "Penulis" di Era Online, Kita Adalah Pengetik Tulen

6 Januari 2019   18:50 Diperbarui: 6 Januari 2019   18:59 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Wendy van Zyl from Pexels

Inspirasi tiba-tiba muncul dari kamar mandi, ketika enak-enaknya sikat gigi. Sehingga terpikirlah suatu keresahan yang benar-benar mengusik waktu mandiku. O, ternyata jaman sekarang memang tidak ada yang murni menjadi "penulis". 

Meskipun sudah berhasil mengarang ribuan cerita, essay, opini tetap saja bukan penulis. Tapi disebut sebagai pengarang. Lalu, siapakah orang-orang yang selama ini mencurahkan ide lewat bacaan-bacaan di internet? Saya rasa, mereka adalah pengetik; dengan keyboard, bukan pena. Lewat share, bukan kartu pos.

Akhirnya saya sudahi mandiku, pakai baju, berwudhu dahulu, lalu kembali ke meja laptop; sekedar meresapi renungan tadi, merefleksi diri sendiri;

Saya membuka file document, melihat-lihat hasil karangan, dan adapun seusai saya baca satu per satu, membuat saya bergumam dalam hati: "Ini ketikan,, itu ketikan,, disini ketikan,, disitu pula ketikan."

Lantas, banyak juga kawan-kawan yang ingin membaca karangan saya dari laptop. Terus terang mereka berkata, "Kamu jadi penulis aja, ngarang-ngarang buku. Toh, tulisan kamu bagus-bagus." O, mereka memuji.

Saya pun berhipotesis, apa gerangan yang membuat kawan-kawan memuji? Apa karena karangan ini bertuliskan di laptop, huruf-hurufnya sejajar, ber-font tidak menclas-menclos supaya enak dibaca ataukah isi pesan dari karangan saya yang bagus-bagus?

Pernah, saat dimana saya belum punya laptop. Saya masih menulis cerita lewat pena, tulisannya memang tidak serapih di laptop. Begitu melihat respon kawan-kawan, "Kok tulisan kayak ceker bebek.." mereka tertawa. 

Ya, padahal isi dari cerita tidak jauh beda dengan yang diketik di laptop; berarti yang dijuluki penulis itu berdasarkan bagus tidak bagusnya tulisan bukan dari pesannya yang tersirat. Sehingga saya merenung, Alangkah indahnya bila tulisan saya seperti ketikan di laptop.  

Jaman pun berubah, orang-orang beralih kiblat bacaan dari tulisan tangan menuju ketikan. Yang biasa menulis diary, beralih pada blog-blog -- padahal sama saja, isinya cerita-cerita tentang dirinya saja. Tapi yang amat disayangkan, keterampilan menulis dengan pena kian tergerus dan menyerupai "ceker bebek".

Guru saya -- sejak SD -- pernah mengajar tulis-menulis dan itu memberi efek keterampilan luar biasa sehingga masih berguna di praktik sehari-hari; menulis catatan kelas, teori di mata kuliah, bahkan kasbon hutang. Ya, yang beda ialah dokter. Entah dari mana inspirasinya, tulisan dokter memang bermazhab sendiri dengan goresan tinta yang awut-awutan; yang tak harus ditafsirkan secara menelaah.

Tulisan-tulisan itu berawal dari gerakan tangan, mengalun-alun, mengenai dinding kertas, timbulah coretan yang terciprat dari tinta, kembali menuai aksara yang dimengerti orang. Maka jadilah tulisan, otomatis dia yang melakukan disebut penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun