Lihat ke Halaman Asli

Logika Terbalik Dunia Pendidikan Kita

Diperbarui: 15 Agustus 2017   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: progstudy.ru

Tulisan ini sekadar untuk merenung hal kecil dalam dunia pendidikan. Isinya tidak begitu penting secara teoretik namun perlu dipikirkann ulang secara praktik. Kesannya agak lucu namun ada kebenaran di baliknya. Bila itu dirasa salah menurut pandangan pembaca, maka itu adalah hak subjektif yang perlu didiskusikan. Saya melihat ada logika terbalik dalam dunia pendidikan kita. Paling tidak ada dua elemen pendidikan kita yang memiliki kelucuan dalam logika terbaliknya, yakni elemen siswa dan guru.

Logika Terbalik (Maha) Siswa Kita

Dalam kacamata orang dewasa, segala sesuatu yang menghabiskan energi dan menyeret otot untuk bekerja dapat dipastikan mendapatkan ganjaran. Ganjaran yang paling pokok dan umum adalah uang. Segala pekerjaan yang dikerjakan orang dewasa dapat dipastikan mendapatkan "uang". Nah, apakah itu berlaku pada siswa?

Coba lihat anak-anak siswa kita atau bahkan mahasiswa dewasa sekalipun. Ia pergi ke sekolah pagi hari dengan diawali mandi, sarapan, mempersiapkan buku, dan berjalan atau naik kendaraan untuk ke sekolah. Di kelas siswa dengan serius mengikuti pelajaran dan tidak jarang melakukan pekerjaan yang berat atas nama pembelajaran inkuiri. Sepulang sekolah mereka harus mengerjakan PR yang tentu saja menguras energi dan waktu. Apa yang mereka dapatkan? Uang?

Bukan. Mereka tidak mendapatkan uang, sebaliknya mereka harus mengeluarkan uang. Pekerjaan yang begitu banyak, biaya transport yang begitu menguras dan tentu saja harus mengikuti ujian-ujian yang sangat memusingkan harus dibayar dengan membayar uang. Logika terbalik kan? Seharusnya mereka mendapatkan uang kan?

Bila alasan utamanya adalah untuk mendapatkan ilmu, maka saya setuju. Tapi, mari kita uji apakah ilmu itu untuk ia sendiri? Dalam dimensi ilmu agama yang menjadi tolak ukur bekal di akhirat bisa jadi ilmu agama terutama praktik ibadah adalah wajib ain (individual). Namun, bila itu ilmu pengetahuan, apakah itu benar untuk dirinya? Yang saya tahu, pengetahuan umum yang lebih mahal dari agama yang dimiliki oleh siswa kita itu sebenarnya untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) negara. Semakin SDM sebuah negara baik dan memiliki pengetahuan etika umum, maka semakin baik juga negara.

Pertanyaannya, bila negara yang mengambil manfaat lalu kenapa siswa yang harus membayar? Bukankah negara yang harus membayarkannya? Sudah lebih dari sepuluh tahun pemerintah berupaya untuk menanggung biaya gratis pendidikan dengan alasan logika terbalik ini, namun apakah benar bahwa ini berjalan dengan baik? Saat ini saja ketika SLTA diambil alih oleh provinsi, mereka mewajibkan kembali untuk menarik bayaran sesuai kesepakatan komite sekolah. Sepertinya, negara sukses membalikan logika kita.

Bila negara telah menyerah atas biaya pendidikan SDM warganya, maka negara tidak berhak atas keilmuan warganya. Hal ini menjadi jelas, kenapa banyak orang pintar di negeri ini berkarir di negeri orang. Ternyata, negara tidak berhak atas ilmunya, atau negara malu untuk meminta memajukan tanah airnya karena Ia tak berinvestasi dalam pendidikan warganya. Jadi, bila negara ingin menguasai seratus persen SDM warganya, maka negara wajib membiayai bukan disuruh membiayai sendiri. Bila negara ingin SDM nya berkualitas, maka perbaiki sekolah dan gurunya agar memiliki mutu yang dibutuhkan. Bukan sebaliknya, anak sekolah menjadi sapi perah untuk kebaikan negara.

Logika Terbalik Guru Kita

Tidak munafik bahwa kehidupan manusia membutuhkan materi. Dalam dunia positivistik saat ini, materi adalah indikator utama dalam kualitas hidup. Materi ini pun dalam arus globalisasi telah didesain menjadi uang dan disederhanakan menjadi angka-angka dalam bentuk gaji. Nah, profesi mana yang gajinya lebih tinggi dari yang lainnya? Saya pastikan itu bukan guru. Mereka bisa dokter, bisa teknokrat, bisa anggota perlemen, bisa juga pilot. Ini berbeda dengan Finalandia atau Australia.

Guru di negeri ini adalah antitesa dari profesi bergaji tinggi. Bukan saja karena ruang pekerjaan ini yang paling luas diantara bidang pekerjaan lain, banyak variasi status guru yang membuat negara bingung menentukan. Negara mewajibkan setiap manusia untuk bersentuhan langsung dengan guru, apapun statusnya. Singkatnya, guru adalah manusia yang paling "dibutuhkan" di seantero negeri. Ia adalah alasan dimana SDM negeri menjadi lebih baik dan berkembang. Namun sayang, sistem kepegawaian guru ini adalah yang paling sulit ditertibkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline