Lihat ke Halaman Asli

Sakaratul Maut Tiki-taka Barcelona

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Oleh: Ahmad Zahid Ali

Baru dini hari pagi Barcelona tumbang dengan sangat mengerikan. Di leg pertama partai semi final Liga Champion, Barcelona dihantam dan dibombardir secara sadis oleh Bayern Munchen dengan skor telak 4-0. Bukannya comeback dan melakukan remontada, sepekan kemudian (dini hari tadi), Munchen kembali menakhlukkan kedigdayaan Camp Nou dengan sadis, 0-3 untuk tim tamu. Alhasil agregat menjadi 7-0 dan Munchen sangat layak menuju Wembley untuk memperebutkan trofi juara Eropa melawan Dortmund.

Sejujurnya hampir saja tangis meledak pagi tadi. Bagaimana tidak, tim yang selama ini kudukung, tim terbaik Eropa yang sangat digdaya dan ditakuti tim manapun dengan filosofi tiki-taka beberapa tahun ini dihancurkan secara tiba-tiba. Ibarat sebuah peradaban Islam yang sudah dibangun dengan sangat kokoh di tanah Andalusia dan beberapa negara, tiba-tiba hancur dan hilang oleh Perang Salib.

Banyak orang yang mengatakan bahwa masa kejayaan Barcelona sudah habis. Permainan agresif-ofensif ala tiki-taka tak lagi menakutkan. Penguasaan bola dengan mengandalkan satu sampai tiga sentuhan diikuti pergerakan dinamis para pemain tak lagi magis. Sudah banyak ahli strategi yang mempelajari kemudian mengejawantahkan ke strategi untuk melawan. Jose Mourinho, Di Matteo, dan Jupp Heynckes adalah salah satu pelatih yang sudah melakukannya. Catalan berkabung. Masa Barcelona akan (atau sudah) habis.

Sebenarnya perjalanan Barcelona hampir sama dengan pola lifecycle sebuah produk. Diawali dengan fase introduction, Barcelona memperkenalkan gaya permainan ofensif dengan tiki-takanya yang saat itu dilatih oleh Johan Cruyff. Pola permainan tiki-taka kemudian dilanjutkan oleh Frank Rijkaard. Banyak rintangan tapi pada masa ini sudah menghasilkan banyak gelar penting.

Tiki-taka belum sempurna. Oleh karenanya Pep Guardiola hadir sebagai pelatih tim utama setelah dinilai layak menggantikan Rijkaard. Pada awalnya banyak pihak meragukan kapabilitas Pep sebagai pelatih sekelas Barcelona. Datang dari tim Barcelona muda sebagai pelatih, banyak orang bertanya, hei, siapa orang baru ini? Tapi 13 trofi termasuk 2 trofi Liga Champion dihasilkan Pep dalam kurun 4 tahun sudah membuat banyak orang tercengang. Inilah Barcelona pada fase development. Fase di mana banyak pengembangan Barcelona lebih baik lagi. Ronaldinho dan Deco ditendang saja oleh Pep karena dinilai tidak dispilin dan lebih mempercayai lulusan La Masia, akademi Barcelona, seperti Xavi, Iniesta, Messi, Pique, dkk.

Kemudian sampailah Barcelona menjadi tim yang sangat ditakuti tim manapun. Sudah banyak gelar bergelimang. Rekor terus saja saling kejar. Barcelona adalah penguasa lapangan hijau yang membuat pelatih manapun harus berpikir keras atur strategi saat akan melawan Barcelona. Sampailah Barca pada fase maturity, yaitu titik puncak keemasan dan benar-benar puncak.

Waktu terus berjalan, sudah banyak pelatih dan pemain membincangkan Barca sebagai tim kesebelasan dengan filosofinya. Kompetitor tak mau terus-terusan kalah begitu saja. Tak ada alasan kecuali bangkit dan memperbaiki tim. Di saat yang bersamaan, Barcelona seperti mengalami fase kemandekan atau kejumudan. Tak ada banyak pengembangan dan perubahan yang berarti di dalam tim. Barisan belakang yang menjadi titik kelemahan selama ini tidak juga segera diperbaiki. Valdes, kiper utama Barca banyak melakukan blunder. Puyol yang mulai menua tak banyak bisa diharapkan karena sering cedera.  Di saat banyak kompetitor faham bahwa kelemahan Barca adalah pertahanan. Bahwa kunci permaianan barca adalah pada trio gelandang Xavi, Iniesta, dan Bosquet kemudian Messi sebagai perusak serangan. Di saat tiki-taka mulai kehilangan nilai magis, tak banyak yang dilakukan pihak manajemen Barca. Oke. Pada bursa transfer Barca masih ikut meramaikan. Tapi sesungguhnya tak membantu karena yang pemain yang dibeli tak sesuai dengan kebutuhan. A. Song, Mascherano, Alexis, adalah pembelian yang gagal, setidaknya menurutku.

Tibalah waktunya Barcelona harus gigit jari dan merelakan trofi Champion. Tibalah waktunya Barca harus cukup puas dengan hanya satu peluang trofi saja musim ini, Liga Primera Spanyol. Masa Barcelona akan habis. Seperti yang pernah dikatakan Ribery bahwa sekarang adalah masanya Bayern Munchen. Cukup sudah tim-tim Spanyol mendominasi Eropa. Saat ini, Barcelona mendekati fase decline, di mana setelah pada titik puncak (maturity) maka grafik akan bergerak ke bawah dan mengalami penurunan.

To be continued…..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline