Lihat ke Halaman Asli

Gerabah Banaran, Tulungagung yang Hampir Punah

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14110466201276920786

Sejak puluhan tahun yang lalu, daerah desa Banaran dan desa Kates, kecamatan Kauman dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah tanah. Mulai dari gentong, wajan, anglo, keren, kuali, kendi, cobek, cuwo, dsb. banyak diproduksi di kedua desa ini. Namun kini, seiring dengan laju industri gerabah yang semakin canggih, baik gerabah plastik maupun logam, fenomena ini semakin memudar. Satu persatu perajin gerabah tanah liat itu pun berguguran, dan industri rumahan ini pun tak terdengar lagi gaungnya. Keberadaan gerabah tanah digeser dengan kedatangan gerabah dari plastik, logam, melamin, ataupun batu...

1411047682427010375

Seperti gentong, tempat penyimpan air ini telah digantikan dengan “gentong” plastik, wajan tanah digantikan dengan wajan stainless steel atau pun tevlon, anglo, keren digantikan perannya dengan kompor gas yang bebas polusi, kuali digantikan dengan panci dari aluminium maupun stainless steel, cobek lebih kuat yang terbuat dari batu, cuwo perannya digantikan dengan mangkuk gelas atau melamin. Akan halnya “kendhi”, mungkin sebagian besar generasi muda sudah tidak mengenal barang ini. Sebab peran penyimpan sekaligus pendingin air minum ini telah digantikan banyak produk, antara lain kulkas.

Akan tetapi, di tengah melemahnya produksi dan pemasaran industri gerabah tanah liat tersebut, ternyata di daerah Kates masih bisa ditemukan beberapa perajin yang masih eksis dan setia menggeluti profesi ini. Tampaknya, walaupun jalannya terseok-seok, para perajin masih masih menampakkan semangat, kendati dengan catatan “apa boleh buat”. Betapa bahagianya mereka, kalau boleh dikatakan begitu, karena masih mempunyai pangsa pasar tersendiri. Bahkan konsumennya mengambil sendiri produk tersebut ke pengepul atau pun pembakar. Terutama produk “kendhil” yang masih bisa dikatakan laris manis. Penyimpan ari-ari atau placenta ini sampai saat ini belum ada peran penggantinya.

Menurut Bapak Gendut, kepala desa Kates, keberadaan perajin industri gerabah tanah liat di wilayahnya bisa dihitung dengan jari. Ada lebih dari lima titik pembakar, rutinitas pembakaran masih berlangsung asal cuaca sangat mendukung, artinya tidak sedang hujan. Bahan bakarnya pun juga sekedarnya, tidak semewah bahan bakar batu bata dan genting.

Ada hal yang menarik, perajin atau pencetak produk merupakan ibu-ibu rumah tangga, dan ternyata mempunyai semacam spesifikasi dalam pembuatan produk gerabah. Seperti halnya ibu Kasini, dia adalah pembuat kendil, ibu Mustiyah (Bu Yah) adalah perajin wajan tanah, ibu Sarimah (Minthul) adalah perajin cobek atau layah, sedangkan ibu Supiyah merupakan perajin keren dan gentong.

14110479671268647870

Yang cukup memprihatinkan, pada umumnya usia perajin sudah uzur, tak tampak adanya regenerasi untuk pembuatnya. Kelihatannya para generasi muda di daerah ini, sudah tidak tertarik untuk membuat kerajinan gerabah dari tanah liat ini. Hasil produknya pun juga itu-itu saja dan begitu-begitu saja (monoton). Kehidupan perajinnya, dapat dikatakan pas-pasan bahkan bisa dikatakan kehidupannya di bawah garis kemiskinan.

Kesimpulannya, jelas perlu perhatian dan uluran tangan serta bimbingan dari pihak yang berwenang untuk meningkatkan variasi jenis produk dan pemasarannya.

_______

Yudimanto-Jurnalis Warga Tulungagung

Tulisan ini pernah dimuat di:

http://www.tulungagung.go.id/jurnalisme-warga/70-industri-gerabah-tanah-yang-semakin-melemah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline