Di negeri ini, wajah feodalisme masih gampang ditemui. Sirene strobo meraung untuk rombongan elit politik atau pejabat, jalanan pun dikosongkan. Mobil dinas dipakai liburan keluarga, fasilitas negara terasa seperti milik pribadi. Di rumah sakit dan bandara, jalur VIP/VVIP terbuka lebar, sementara rakyat biasa harus sabar mengantre. Belum lagi flexing gaya hidup mewah: pesta, jam tangan, tas bermerek, sampai perjalanan dinas yang lebih mirip wisata.
Feodalisme adalah akar, mental inlander adalah buahnya. Dalam sistem feodal yang terlahir dari pola era agrikultur, masyarakat mulai terbiasa dengan hierarki kaku. Revolusi pertanian menghasilkan surplus pangan, lalu lahirlah kelas-kelas sosial: pemilik tanah, penggarap, dan penjaga kekuasaan. Struktur ini membuat sebagian orang punya akses penuh ke sumber hidup, sementara sisanya hanya bisa tunduk.Â
Pola tunduk itu diwariskan turun-temurun, dilembagakan dalam bentuk kerajaan yang menempatkan raja sebagai sosok sakral, lalu diperkuat lagi saat kolonialisme datang dengan label baru: inlander. Sejak itu, struktur feodal dan mental inlander saling mengunci, elit dengan mental superiornya merasa wajar memerintah dengan gaya arogan, rakyat dengan mental inferiornya merasa wajar tunduk meski dirugikan.
Kini kita hidup di era Society 5.0, dimana teknologi mutakhir dan kecerdasan buatan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Secara teknologi kita sudah sangat maju, tetapi secara mental kita masih membawa pola lama. Kalau dulu rakyat tunduk pada raja yang dianggap sakral atau kolonial bersenjata, kini mereka tunduk pada simbol kuasa modern: strobo siren, flexing, VVIP dan yang semacamnya. Di sisi lain, rakyat juga mewarisi sisi inlander: kagum pada pencitraan digital, rela menukar hak politik dengan imbalan sesaat, dan jarang mengoreksi kuasa. Mekanisme lama hadir dalam kemasan baru, Feodal dan Inlander 5.0.
Minimnya budaya baca memelihara sistem itu. Pejabat lebih suka mengulang narasi pencitraan ketimbang membaca buku dan membaca perasaan rakyat. Rakyat pun tidak jauh berbeda, lebih rajin mengikuti gosip politik dan selebriti di media sosial ketimbang membuka literatur. Akibatnya, yang hidup subur bukanlah kesadaran kritis, tapi kebiasaan kagum pada simbol-simbol semu yang menjerumuskan. Lingkaran setan itupun lengkap.
Namun warisan bukan takdir. Mental inlander bisa dipatahkan, diganti dengan mental mandiri dan optimis. Generasi baru masih punya peluang untuk memutus rantai ini: berani membaca lebih banyak buku, membaca lebih dalam hati rakyat, dan membaca ulang arah bangsa dengan kacamata kritis. Bila itu terjadi, simbol kuasa tidak lagi menundukkan, tapi diuji oleh rakyat yang lebih percaya diri, kitapun benar-benar merdeka.
(Ajuskoto)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI