Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Wacana Digital, Ruang Sempit Komunikasi

Diperbarui: 19 Oktober 2019   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi digital (SHUTTERSTOCK) | Kompas.com

Degradasi! Makna percakapan di ruang digital memang terbatasi. Pembatas tersebut, ada dalam bentuk format tampilan atau space karakternya.

Tidak heran, mekanisme interaksi tekstual yang difasilitasi melalui medium digital kerap gagal memediasi pembicaraan yang demokratis. Padahal sebagaimana Habermas, dunia maya dapat menjadi sebuah public sphere baru.

Di media sosial, kebisingan -noise memang kerap menutup aspirasi publik -voice. Tapi keriuhan itu, nampak semakin menjadi persoalan akhir-akhir ini. Dinamikanya cenderung sangat fluktuatif. Terlihat jelas bahwa kita mengalami kondisi gegar budaya dalam penggunaan teknologi.

Merujuk McLuhan, diktum dasarnya, kita mempertajam penggunaan perangkat peralatan melalui teknologi, dan pada giliran akhirnya kehidupan serta kebudayaan kita dipertajam oleh hal tersebut. Interaksi yang timbul bersifat dialektis.

Disini letak masalahnya. Tanpa disertai pemahaman, pengetahuan dan kapasitas yang cukup, kondisi gegar teknologi bisa berlangsung panjang dengan berbagai konsekuensi yang dihadapi secara paralel.

Fase adopsi teknologi digital, hingga kemudian kita mampu secara utuh beradaptasi dengan hal tersebut, sekurangnya membutuhkan waktu puluhan tahun. Termasuk karena perbedaan antar generasi terjadi. 

Penghuni yang aktif berinternet sejak lahir -digital native, akan berbenturan dengan mereka yang pernah mengalami era pra internet -digital immigrant. Imajinasi ruang setara sebagaimana konsep Habermas terjadi dalam konteks yang anarkis.

Pada media mainstream, atau percakapan fisik model komunikasi masih mengandaikan bahwa para pihak yang berkomunikasi menggunakan norma sosial yang berlaku. Di jagat digital, sekat-sekat itu runtuh dan menghilang. Semua berkedudukan sama, tanpa bingkai nilai dan norma. 

Dengan begitu tesis Tom Nichols tentang Death of Expertise menjadi semakin jelas. Penulis karya ilmiah bisa kalah populer dari penulis partikelir yang lihai menjual sensasi dan kontroversi, bukan tidak mungkin melakukan propaganda hingga agitasi. 

Khalayak media digital, juga berada dalam situasi menyampingkan embel-embel akademik sebagai kredibilitas kedua setelah emosionalitasnya tersentuh. Rasionalitas menjadi sekedar soal persetujuan rasa.

Dalam teori komunikasi ada yang disebut sebagai konvergensi simbolik. Satu situasi dimana, rujukan percakapan menjadi homogen, dan makna dalam simbol-simbol yang diperbincangkan menjadi sama. Lantas, atas kesepahaman tersebut, dibangun kohesi sebagai kelompok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline