Keterbukaan informasi publik adalah hak mendasar setiap warga negara, termasuk kelompok rentan yang mencakup kelompok lanjut usia, penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, masyarakat miskin, dan kelompok marginal lainnya. Bagi mereka, akses terhadap informasi bukan hanya soal hak, tetapi juga kebutuhan penting untuk memperoleh keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan. Dalam rangka mewujudkan awareness terkait hak atas informasi bagi kelompok rentan, Bidang Sosialisasi dan edukasi Komisi Informasi RI menggelar penyusunan materi sosialisasi dan edukasi yang efektif bagi kelompok rentan yang akan dilaksanakan pada Hari Kamis, 19 Juni 2025 mulai jam 09.00 WIB s.d selesai.
Acara yang berlangsung di lanati 2 ruang 14 Ibis Bandung Trans Studio Jl. Gatot Subroto No.289 Kota Bandung menghadirkan dua nara sumber: Yudaningsih praktisi keterbukaan informasi publik dan Suhendar PERTUNI yang berkhidmat sebagai Humas Poltekes Bandung.
Di balik slogan "informasi adalah hak setiap warga negara", masih banyak kelompok yang belum sepenuhnya merasakan makna kalimat tersebut. Kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas, masih kerap tertinggal dalam arus deras sosialisasi dan edukasi keterbukaan informasi publik. Padahal, dalam dunia yang kian mengandalkan transparansi dan akuntabilitas, tidak boleh ada yang tertinggal.
Bunda Samrotunnajah memaparkan pentingnya modul edukasi yang efektif bagi kelompok rentan (Sumber: DokPri Fendi PA Bunda Samro KI RI)
Keterbukaan informasi publik adalah jantung dari demokrasi. Ia memastikan masyarakat tahu, terlibat, dan bisa mengontrol jalannya kebijakan serta penggunaan anggaran publik. Namun apa jadinya jika sebagian masyarakat tak punya akses terhadap informasi tersebut? Jika brosur tidak bisa dibaca karena hurufnya tak dikenali? Jika forum publik tidak bisa diakses karena tidak ada juru bahasa isyarat? Jika suara penyuluh tak terdengar karena tidak disertai teks?
Ini bukan sekadar soal teknis. Ini adalah soal keadilan.
Penulis saat menjadi Narsum Diskusi (Sumber: DokPri Fendi PA Bunda Samro KI RI)
Dina, seorang penyandang disabilitas netra, bercerita bahwa ia kerap kesulitan mengakses informasi dari kantor pemerintahan. Situs web yang tidak ramah pembaca layar, dokumen-dokumen penting tanpa versi audio atau braille, membuatnya merasa diabaikan. "Kami juga warga negara. Kami juga punya hak tahu," ujar Dina pelan namun tegas.
Cerita Dina bukan satu-satunya. Banyak komunitas difabel di Jawa Barat mengalami hal serupa. Sosialisasi keterbukaan informasi publik sering kali dilakukan dengan metode konvensional: ceramah, brosur cetak, pamflet, dan presentasi PowerPoint. Sayangnya, pendekatan ini belum inklusif. Bahkan, tidak jarang lokasi kegiatan pun tidak aksesibel bagi pengguna kursi roda.
Menyoal efektivitas edukasi keterbukaan informasi bagi kelompok rentan, perlu ada perubahan paradigma: dari sekadar "mengundang" menjadi benar-benar "melibatkan". Sosialisasi harus dibangun dari kesadaran bahwa disabilitas bukan kekurangan, tetapi perbedaan cara berinteraksi dengan dunia. Maka strategi komunikasi pun harus disesuaikan.