Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Cerpen | Kisah WiFi yang Tercuri

Diperbarui: 3 November 2018   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Telset.id

WiFi, siapa yang tak mengenalnya. Di zaman sekarang ini, ia bagai Dewa Penyelamat bagi para fakir kuota, sekaligus senjata andalan buat para pemiliknya. Sekali password dimasukkan, kita bisa langsung terhubung dengan dunia dalam sekejap.

Lebih bahagia lagi, jika WiFi itu tak mengenal password, cukup dinyalakan, bereslah sudah. WiFi gratis tanpa password, nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan?

Kebetulan, rumah kami pernah "berhubungan mesra" dengan WiFi gratis tanpa password, yang tanpa sengaja kami temukan di suatu siang nan cerah. Awalnya, kami tak tahu itu punya siapa, kami bahkan tak peduli. Yang jelas, ini adalah sebuah rejeki, yang sukses membuat kami menghemat anggaran belanja pulsa tiap bulan.

Tapi, kami makin kecanduan menggunakannya, setelah kami akhirnya tahu, WiFi ini milik siapa. Hebatnya, kebiasaan ini lalu ditiru oleh tetangga yang lain. Ya, WiFi gratis tanpa password itu adalah milik Bu Bunga, tetangga paling dibenci di perumahan kami. Mengapa kami semua begitu membencinya?

Jawabannya sangat sederhana, Bu Bunga dan anak-anaknya sangat arogan. Jangankan bertegur sapa, memandang wajah kami pun tak pernah. Kami tak pernah dianggapnya manusia, kecuali saat dia butuh bantuan. Oke, kami masih mau membantunya, walau kami harus berpura-pura amnesia lebih dulu di depannya. Pertanyaan, "Maaf, Anda ini siapa ya?" selalu jadi kata pembuka.

Maklum, kami bukan manusia dimatanya, sampai ia datang memohon bantuan, seperti yang kami semua alami saat ia pindah ke rumah barunya. Kala itu, kami semua dibuatnya repot, saat ia memohon bantuan kami untuk menyebarkan undangan acara syukuran pindah rumah.

Ternyata, Bu Bunga sama sekali tak punya teman, seperti ia tak punya urat malu. Tapi, berhubung kami punya kesibukan masing-masing, jangankan kami sebar, undangan yang kami terima saja kebanyakan berakhir seperti koran bekas yang dijual kiloan ke tukang loak.

Kami ingat, di hari acara syukuran pindah rumah mereka, suasana terlihat lengang. Hanya ada keluarga mereka, dan segelintir anggota keluarga dekat mereka. Saking sepinya, Pak Jaya, suami Bu Bunga sampai berkeliling kompleks perumahan kami sendirian, hanya untuk mengirimkan makanan. Dialah satu-satunya orang yang bersikap baik di keluarga Bu Bunga.

Entah kenapa, Bu Bunga merasa derajatnya lebih tinggi, hanya karena rumahnya berukuran paling besar, punya mobil mewah, dan hidup bak seorang sosialita. Padahal, sebelum pindah ke rumah barunya, Bu Bunga hanya mengontrak sebuah rumah kecil di kompleks perumahan kami, meski gaya hidupnya bak seorang sosialita.

Memang, sejak keluarga Bu Bunga tinggal di kompleks perumahan kami, kami tak henti-hentinya disuguhi pemandangan atau kebiasaan mereka yang sungguh sangat absurd. Tiada hari tanpa pertengkaran dan jeritan, padahal mereka bertingkah bak orang paling suci saat sedang beribadah. Tiada bulan tanpa tunggakan iuran keamanan kompleks dan tunggakan uang kontrakan, padahal mereka tak pernah absen berbelanja barang bermerek berharga jutaan tiap bulannya. Ditambah lagi, mereka rutin piknik ke luar negeri hampir tiap bulan.

Kami ingat betul, betapa sering listrik, telepon dan air mereka diputus, akibat menunggak tagihan sewa bulanan terlalu banyak. Untunglah, sang pemilik rumah masih berbaik hati, sampai mereka pindah ke rumah besar itu. Jika tidak, mereka sekarang pasti sudah jadi gelandangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline