Lihat ke Halaman Asli

Kepala Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta Lulus S-3 di Untag Surabaya dengan Predikat Cum Laude

Diperbarui: 20 Mei 2019   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Letkol Laut (KH/W) Koerniawaty Sjarif, SH., MH., akhirnya sukses menyelesaikan Program Pendidikan Doktornya di Fakultas Hukum Ilmu Hukum Untag Surabaya setelah melalui tahap ujian terbuka di meeting room Graha Wiyata lantai 1 (17/05/2019). Karya tulis ilmiah dengan judul ‘’Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Tertentu Di Lingkungan Pengadilan Militer’’ mengantarkan Koerniawaty lulus dengan predikat Cum Laude dengan durasi pendidikan  kurang dari 3 tahun.

Dalam disertasi tersebut Koerniawaty menyebutkan bahwa penyelesaian tindak pidana di pengadilan sering diikuti gugatan ganti rugi oleh korban kepada pelaku kejahatan, dengan maksud kerugian yang diderita korban dapat tergantikan. Kerugian yang telah tergantikan tersebut membuat hubungan korban dan pelaku memiliki potensi hubungan yang harmonis kembali. Namun menurut Koerniawaty harapan korban terhadap pelaku sering tidak terwujud.

‘’Tujuan korban membawa perkaranya ke pengadilan adalah untuk menuntut pengembalian barang atau pembayaran atas kerugian yang dialaminya, bukan merupakan pemidanaan terhadap pelaku. Tapi harapan korban untuk mendapatkan ganti rugi terhadap pelaku seringkali tidak dapat terwujud dan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru,’’ kata Koerniawaty dalam disertasinya.

Sedangkan mekanisme penyelesaian tindak pidana yang berpedoman pada KUHAP seperti yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pada prakteknya memakan waktu yang cukup lama atau bisa dikatakan lambat, tidak efisien, membutuhkan biaya yang tidak ringan dan selalu berakhir dengan pemidanaan. Sehingga mekanisme tersebut dipandang tidak memberi kepastian hukum dan manfaat serta jauh dari rasa keadilan.

‘’Keadaan ini tentu saja menimbulkan kekecewaan dan penilaian negatif bagi masyarakat pada umumnya, atau para pencari keadilan yang datang ke pengadilan untuk menuntut kerugian yang telah dialaminya karena mereka berstatus sebagai korban. Dengan adanya penilian negatif tersebut membuat kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di Indonesia yang merupakan salah satu alat untuk mempertahankan penegakan hukum di negara ini menjadi luntur,’’ tambah Hakim Militer tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian, penerapan Mediasi Penal di lingkungan Peradilan Militer belum memiliki landasan hukum yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan. Maka dari itu, dalam rangka mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan Mediasi Penal dalam penyelesaian tindak pidana tertentu di Peradilan Militer, Koerniawaty menyarankan bahwa pemerintah perlu mencabut regulasi tentang mekanisme Mediasi Penal dalam pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Peradilan Militer.

‘’Untuk menjamin penegakan hukum pelaksanaan penyelesaian tindak pidana melalui mekanisme Mediasi Penal terhadap tindak pidana tertentu di Peradilan Militer, Pemerintah perlu membuat regulasi tentang mekanisme Mediasi Penal dalam pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Peradilan Militer, sehingga Mediasi Penal akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum di lingkungan Peradilan Militer,’’ tutup Kepala Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline