Lihat ke Halaman Asli

Yogi Pratama

Penggemar

Dari Propaganda ke Dokumenter: Perjalanan Film G30S di Layar Lebar

Diperbarui: 21 September 2025   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Terkait Pembersihan Gerakan PKI

Pada awal 1980-an, pemerintah Orde Baru berusaha memperkuat legitimasi kekuasaannya dengan menghadirkan sebuah film yang akan menempel kuat di benak masyarakat. Hasilnya adalah film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" karya Arifin C. Noer yang dirilis pada tahun 1984.

Film berdurasi panjang ini menggambarkan peristiwa 30 September 1965 versi resmi negara. Adegan penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI serta satu ajudan disajikan dengan dramatis, lengkap dengan penggambaran tokoh PKI yang bengis dan kejam. Pemerintah menjadikannya alat pendidikan politik.

Selama bertahun-tahun, film ini wajib diputar setiap tanggal 30 September di TVRI. Di sekolah-sekolah, siswa juga diarahkan untuk menonton dan mencerna isi ceritanya. Tak sedikit anak-anak yang tumbuh dengan bayangan mengerikan tentang PKI, karena film ini benar-benar menekankan kekerasan dan propaganda antikomunis.

Namun, di balik kepopulerannya, banyak kritik muncul. Sejarawan dan peneliti menilai film ini sarat kepentingan politik. Narasi dibangun sepihak, tanpa ruang untuk mempertanyakan kompleksitas situasi. Setelah runtuhnya Orde Baru tahun 1998, pemutaran wajib film ini dihentikan. Dari sana, publik mulai membuka mata bahwa sejarah tidak sesederhana yang ditampilkan layar.

Perspektif Baru: The Act of Killing atau Jagal

Beberapa dekade setelah film versi pemerintah mendominasi, dunia dikejutkan oleh hadirnya dokumenter "The Act of Killing"  atau dikenal sebagai "Jagal" pada 2012. Disutradarai Joshua Oppenheimer bersama timnya, film ini menampilkan sisi lain tragedi 1965: kisah para pelaku pembantaian massal.

Berbeda dengan narasi negara yang menyorot PKI sebagai dalang, Jagal justru menghadirkan wajah orang-orang yang terlibat dalam eksekusi massal setelah peristiwa G30S. Mereka bukan sekadar narasumber pasif, melainkan diajak untuk merekonstruksi ulang adegan pembunuhan dengan gaya yang mereka pilih sendiri, kadang seperti film laga, gangster, bahkan musikal.

Hasilnya mengejutkan: penonton tidak hanya melihat cerita sejarah, tetapi juga masuk ke dalam psikologi pelaku. Ada rasa bangga, ada pula bayangan trauma yang tak pernah selesai. Film ini menuai banyak penghargaan internasional, termasuk BAFTA untuk dokumenter terbaik, dan mendapat nominasi Oscar.

Namun di Indonesia, penayangan film ini masih terbatas. Ada pihak yang menolak karena dianggap membuka luka lama, ada pula yang memujinya sebagai usaha berani melawan narasi tunggal Orde Baru.

Suara Korban: The Look of Silence atau Senyap

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline