Globalisasi adalah proses peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan berbagai bentuk interaksi lainnya, yang mengakibatkan batas-batas negara menjadi semakin kabur.
Secara sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai proses mendunia yang memungkinkan masyarakat dari berbagai negara saling berinteraksi dan terhubung, bahkan ketika terpisah jarak yang jauh. Hal ini ditandai dengan semakin mudahnya pertukaran ide, informasi, barang, dan jasa antar negara.
Di satu sisi, globalisasi membawa kemajuan teknologi dan wawasan dunia yang luas. Namun di sisi lain, ia menyisakan tantangan besar lunturnya rasa nasionalisme, terutama di kalangan generasi muda.
Di tengah derasnya arus global, penting bagi Indonesia untuk menanamkan kembali nilai-nilai nasionalisme yang kuat dan kontekstual. Salah satu cara paling strategis adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Bukan semata-mata pelajaran di bangku sekolah, tetapi sebagai instrumen untuk membentuk karakter bangsa yang berakar pada jati diri Indonesia, namun adaptif terhadap perubahan zaman.
Nasionalisme dalam Konteks Modern
Selama ini, nasionalisme seringkali diasosiasikan dengan hal-hal simbolik bendera merah putih, lagu kebangsaan, atau sekadar hafalan sila Pancasila. Tentu itu penting. Namun dalam konteks kekinian, nasionalisme bukan sekadar seremonial. Ia harus menyentuh ranah kesadaran kritis, menjadi motivasi untuk membangun negeri, menghargai keberagaman, dan menjaga kedaulatan dalam segala bentuknya – termasuk budaya, ekonomi, hingga informasi digital.
Sayangnya, beberapa fenomena di lapangan menunjukkan adanya pelemahan rasa cinta tanah air. Anak muda lebih mengenal budaya pop asing ketimbang sejarah perjuangan bangsa sendiri. Pengaruh budaya luar tak jarang menimbulkan krisis identitas, apatisme sosial, dan bahkan kecenderungan untuk meremehkan simbol-simbol kebangsaan. Di sinilah pendidikan kewarganegaraan memiliki urgensi yang tidak bisa ditunda.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pilar Karakter Bangsa Pendidikan kewarganegaraan seharusnya tidak dipandang sebagai mata pelajaran biasa yang penuh hafalan. Lebih dari itu, ia adalah ruang untuk membentuk watak warga negara yang kritis, demokratis, bertanggung jawab, dan mencintai bangsanya secara sadar. Materi yang diajarkan pun perlu dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan masyarakat saat ini.
Kurikulum Merdeka yang kini mulai diimplementasikan memberi peluang besar untuk mendesain pendidikan kewarganegaraan yang lebih aktual dan bermakna. Tidak hanya berbicara tentang undang-undang, tetapi juga mengajarkan etika bermedia sosial, pentingnya toleransi antar umat beragama, nilai gotong royong, serta kesadaran terhadap isu-isu global yang berdampak lokal, seperti perubahan iklim atau disinformasi.
Tantangan di Era Digital dan Media Sosial
Generasi muda saat ini lebih banyak belajar dari YouTube, TikTok, dan media sosial dibandingkan dari buku pelajaran. Ini bukan hal buruk—jika diarahkan dengan baik. Namun justru di sinilah pendidikan kewarganegaraan perlu berinovasi. Guru dan institusi pendidikan tidak boleh gagap teknologi. Alih-alih menolak media sosial, pendidik harus menjadikannya sebagai alat kampanye nilai-nilai nasionalisme yang segar, kreatif, dan relevan.