Lihat ke Halaman Asli

Syarifah Lestari

TERVERIFIKASI

www.iluvtari.com

Diputus oleh Pilpres Tak Tersambung oleh Corona

Diperbarui: 19 Maret 2020   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: istock

Kelak, 10 atau 20 tahun lagi, (kalau masih hidup) kita akan bercerita pada anak-anak muda di masa itu. Betapa puluhan tahun silam kami pernah terpecah-belah karena perbedaan pilihan politik. Bahkan setelah tokoh yang kami elu-elukan masuk dalam satu gerbong, kami masih tercerai berai.

Paragraf itu akan epik banget kalau saat diceritakan kita sudah bersatu kembali. Kalau belum, ya basi. Mungin sekadar jadi sejarah asal mula kehancuran Indonesia di masa modern. Duh, ngerinya.

Tapi itu mungkin kan? Mungkin banget. Faktanya yang tahun lalu saling gebuk karena pemilu, terutama pilpres, hari ini tak juga bisa rekat kembali. Bahkan setelah kedatangan Corona, kita masih berseberangan dengan cara yang frontal.

Corona yang sebelumnya jadi bahan candaan, sekarang jadi bahan keributan. Yang setuju lockdown dengan yang tidak, saling adu argumen habis-habisan di medsos. Faktornya bukan soal kesehatan dan dampak lain, tapi siapa yang memberi kebijakan.

Jadi pilihan kita bukan berdasar dalil atau alasan logis, tapi hanya soal suka atau tidak suka. Sama sekali tidak ilmiah. Toh, alasan bisa dicari.

Sudah beredar berbagai opini menarik yang cerdas, ilmiah, dan manusiawi, tapi yang bebal tetap dalam kebebalannya. Sudah banyak video pendek disebar, berisi seruan yang mengedukasi dengan cara menyenangkan dan menenangkan, tetap saja semangat berdebat dinomorsatukan.

Apa susahnya belajar percaya?

Kalau disuruh di rumah, ya tetaplah di rumah kecuali untuk urusan yang urgen. Tidak ada yang melarang mencari nafkah, tidak perlu itu jadi bahan perdebatan.

Pemerintah lamban dan plin-plan, rumah sakit tak memadai, dolar naik, bahan pokok langka .... Itu semua masalah, tapi bukan milik kita pribadi. Biarlah yang bersangkutan bekerja, kita lakukan yang bisa dilakukan. Minimal dengan tidak ikut nyemplung dalam perdebatan.

Sebab debat itu mengeraskan hati, nantinya yang kita cari hanya pembenaran. Tak nampak lagi benar salah karena kadung tersulut emosi. Alhasil, seperti yang kusebut di atas. Benar salah didasari atas suka atau tidak suka.

Baru saja sebuah pesan paling gila terbaca di HP. Nyesel sih, pagi-pagi buka WAG itu. Bikin rusak hati. Ingin menegur, pasti yang ditegur ngegas. Sudah tabiatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline