Lihat ke Halaman Asli

Ririn_AZR

Penikmat Tulisan

Selesai -Sudut Pandang Eliza-

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kau ingin makan sesuatu?” pertanyaan Reyndra sedikit menyentakku. Aku yang baru tersadar dari lamunanku mendadak seperti lumpuh otak sampai-sampai tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan semudah itu. Aku melirik ke daftar menu yang sedari tadi tak kuacuhkan.

“Tidak, terimakasih. Aku tidak ingin berlama-lama, sebenarnya,” sahutku, pada akhirnya.

Aku lalu menghela napas dengan samar. Ya, aku memang tidak ingin berlama-lama di sini. Meskipun bila aku harus jujur, sebenarnya aku sangat ingin sebaliknya, tapi aku tidak boleh melakukan itu. Berlama-lama dengan Reyndra pasti akan membuatku kalah lagi oleh perasaanku. Jangankan berlama-lama, bahkan baru berada di kafe ini beberapa menit saja sudah membuatku terhanyut dengan memori kami. Bagaimanapun, aku masih ingat bahwa tempat inilah yang menjadi tempat pertemuan pertama kami.

“Baiklah. Jus jambu, dua,” tukas Reyndra kemudian pada gadis waitress yang sudah siap mencatat apa saja yang akan kami pesan.

“Sejak kapan kau juga menyukai jus jambu?” Aku bertanya sesaat setelah gadis waitress berlalu.

“Sejak aku tahu bahwa kau menyukainya.” Ah, Rey… haruskah aku terkesan mendengar jawabanmu?

“Oh, ya ampun…. Kau pikir itu hal yang manis?” Pada akhirnya, pertanyaan sinis itulah yang meluncur dari bibirku. Tentu saja aku tak mungkin terang-terangan mengatakan bahwa bagiku itu memang hal yang manis -dengan catatan laki-laki itu berkata jujur.

“Kuharap kau berpikir begitu.” Reyndra membalas diikuti tawanya yang berderai.

Aku… senang sekali bisa melihat tawanya lagi. Namun, tak lama kemudian tawa Reyndra berhenti. Mungkin ia merasa konyol karena aku sama sekali tak menanggapinya. Aku memang hanya memasang wajah datar. Aku bahkan tidak menatapnya sejak kami duduk berhadap-hadapan beberapa saat lalu. Selama ini, menatap matanya selalu berhasil membuatku luluh. Aku selalu merasa menemukan teduh yang kucari. Tetapi aku tidak ingin hatiku luluh lagi olehnya sekarang.

“Kau masih saja kurus, tetapi terlihat lebih cantik dari terakhir kita bertemu.” Sebenarnya, aku tahu bahwa sedari tadi Reyndra terus saja memandangiku. Seolah ia ingin mencari apakah ada sesuatu yang berbeda antara aku yang sekarang dan aku tiga bulan yang lalu, saat terakhir kami bertemu.

“Aku sama sekali tidak membutuhkan pujianmu agar tetap mencintaimu.” Aku membalas. Sinis, tetapi jujur. Reyndra tampak terperangah beberapa saat. Pasti ia merasa terkesima. Bukan denganku, melainkan dengan dirinya sendiri yang sudah berhasil menaklukkanku. Kesadaran akan hal itu membuatku sedikit menyesal dengan jawabanku.

“Lalu, apa yang kaubutuhkan agar tetap bertahan dengan cintamu itu?” Laki-laki itu menantangku. Rupanya ia mengajakku berdebat. Rindukah ia dengan perdebatan yang selalu meliputi kami tiap kali kami mengobrol? Percayalah, jika pertanyaan itu ditujukan padaku, dengan menyesal aku akan menjawab bahwa aku rindu.

“Aku… tidak membutuhkan apa-apa.” Aku menyahut tak lama setelah waitress tadi meletakkan pesanan Reyndra di meja kami. Aku menghela napas sesaat, sebelum menambahkan, ”aku percaya, suatu saat perasaan itu akan hilang dengan sendirinya.”

Seharusnya kalimatku tadi terdengar meyakinkan. Seharusnya laki-laki itu percaya. Namun, nyatanya, aku memang tidak pernah bisa membohongi Reyndra. “El, kau tampak menyedihkan,” balasnya. Ia berkata pelan, tapi cukup untuk membuatku mengalihkan pandanganku ke arahnya.

“Kau tidak perlu repot-repot mengasihaniku, Rey.” Aku kembali menyapukan pandanganku keluar jendela besar yang ada di sisi kiriku. Kesal. Aku merasa bodoh karena telah membuat Reyndra mengasihaniku.

Aku tersentak ketika tiba-tiba Reyndra menggenggam tangan kananku. Aku berusaha mengelak meskipun hatiku tak setuju dengan keputusanku itu. Aku tahu aku membohongi diri karena nyatanya aku sangat merindukan sentuhannya. Aku rindu pada sensasi yang muncul saat ia menyentuhku dengan lembut.

“Apa yang kau inginkan dariku? Sungguh, aku akan memberikan apapun itu.” Reyndra menatapku dalam sambil masih terus menggenggam tanganku erat. Genggamannya erat sekali karena sedari tadi aku terus saja berusaha menarik tanganku.

Lepaskan, Rey…. Aku mohon.

“Kau jelas sudah tahu apa yang ku mau. Sayangnya, kau tidak bisa memberikannya. Atau mungkin kau memang tidak mau,” balasku setelah pada akhirnya berhasil melepaskan diri dari genggamannya.

“Oya? Memang apa yang kau inginkan?” Aku pikir Reyndra berpura-pura bodoh. Namun, saat aku mengunci kedua matanya dalam pandanganku, ia terlihat sungguh-sungguh.

Dasar bodoh! Laki-laki bodoh!, umpatku dalam hati dengan kesal bercampur sedih.

“Aku hanya ingin dicintaimu dengan benar. Dengan sungguh-sungguh.” Akhirnya aku mengaku.

Bagaimana? Kau merasa puas, Rey?

Reyndra tampak terkejut. Aku sangat yakin bahwa dalam hati ia merasa menang, merasa hebat karena sudah berhasil membuatku jatuh cinta terlalu dalam.

“Aku benar-benar mencintaimu, El.”

Kata-kata Reyndra terdengar begitu tulus. Aku akui hatiku bergetar dan mendadak mataku terasa panas.

“Apa aku harus mempercayaimu?” tanyaku meskipun aku tahu itu percuma. Aku tidak cukup bodoh sampai-sampai tidak tahu bahwa apa yang baru saja dikatakannya hanyalah kebohongan belaka.

“Itulah masalahmu selama ini, El. Belajarlah memercayai orang lain!” Ia menjawab.

“Katakan! Bagaimana aku bisa percaya bahwa aku adalah satu-satunya bagimu, Rey?” Aku setengah mati berharap ia tidak menyadari bahwa aku sedang berjuang menahan air mataku agar tidak jatuh.

Andai saja bisa, Rey. Andai saja bisa, aku sangat ingin memercayaimu sepenuhnya.

“Ternyata kau masih saja pencemburu dan kekanak-kanakan,” tukasnya lagi.

“Tidak seperti perempuan itu, ya?” Aku menggumam tanpa sadar. Entah kenapa pikiranku langsung tertuju pada perempuan yang diceritakan Reyndra di telepon tempo hari. Perempuan yang menurutnya lebih dewasa dari usianya yang masih belasan itu.

“Namanya Liana. Ia jauh lebih muda darimu tapi ia tidak kekanak-kanakan sepertimu.”

Baiklah, aku memang tidak seperti perempuan itu. Apa ia pikir aku harus seperti perempuan itu? Apa aku harus bersedia melakukan semua yang ia mau hanya untuk dianggap dewasa olehnya?

Well, usia memang tidak menjadi penentu kedewasaan seseorang. Sebenarnya, aku tidak begitu peduli dengan penilaianmu terhadapku juga perempuan itu. Toh sudah jelas, tolak ukur kedewasaan kau dan aku berbeda.” Aku membalasnya. Wajar bukan jika aku kesal? Siapapun tidak aka suka jika dibandingkan seperti itu.

Aku menghela napas pelan, berusaha mengatur emosiku.

“Lagipula, ini bukan soal kecemburuan, Rey. Ini soal komitmen. Jadi, jika ada yang kekanak-kanakan dalam hal ini, menurutku, itu adalah kau,” lanjutku. Aku kembali menyerangnya. Ia harus sadar. Paling tidak, ia harus mengerti bahwa masalah ini berawal darinya.

“Ayolah, Eliza… jangan terlalu kaku seperti itu!” Ia berusaha mempengaruhiku. Namun, sia-sia. Saat ini aku sedang merasa kuat untuk tetap pada pendirianku.

“Belajarlah berkomitmen, Rey! Siapapun yang sekarang bersamamu, itu hanyalah sementara selama kau tidak pernah berani berkomitmen dengannya.” Aku masih setengah berharap ia pada akhirnya akan mengerti bahwa komitmen bukanlah sekadar lelucon seperti yang selama ini ia pikirkan.

“Apa artinya komitmen? Omong kosong!” cibirnya, membuatku sadar bahwa usahaku ternyata sia-sia. Laki-laki itu masih belum berubah. Mungkin ia tidak akan pernah berubah.

“Terimakasih. Kata-katamu barusan akan menjadi alasan yang sangat bagus untukku melupakanmu.” Aku tersenyum, berusaha membesarkan hatiku yang sedang didera kecewa.

“Sudah hampir malam. Aku harus pulang. Aku pikir akan ada gunanya kau menyeretku sepulang aku dari kantor ke tempat ini. Tapi ternyata percuma saja,” tukasku kemudian. Aku tidak bisa berhadapan dengannya lebih lama lagi. Aku semakin merasa sesak di sini.

“Minumlah dulu!” sergah Reyndra. Aku mengangkat sebelah alisku. Ia berkata dengan terburu, seolah ingin mencegahku pergi agar tetap bersamanya. Sebenarnya, apa lagi yang ia mau?

Aku menurut. Aku menyedot minumanku pelan. Tanpa bisa kucegah, aku berpikir apakah ini akan menjadi terakhir kalinya aku dan Reyndra bertemu. Apakah akan ada lain kali setelah ini?

“Aku sudah selesai dengan minumanku. Selamat tinggal.” Aku beranjak tanpa menghabiskan minumanku juga tanpa memandang laki-laki itu. Aku tiba-tiba merasa pusing dengan apa yang berkecamuk dalam pikiranku.

“Kau melupakan sesuatu, El.” Aku menghentikan langkahku, tetapi tubuhku enggan berputar ke arahnya. Aku hanya diam, menunggunya berkata lagi.

Namun, serta-merta Reyndra menghampiriku. Laki-laki itu memelukku. Beberapa detik aku lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Tenggorokanku tercekat. Aku mematung. Kali ini aku tak lagi meronta. Aku membiarkan Reyndra mendekapku erat. Entah hanya perasaanku atau memang benar, pelukannya terasa erat sekali.

“Aku tahu, kau menginginkan ini,” bisiknya kemudian.

Aku menahan napas. Aku benci sekali untuk mengaku bahwa apa yang Reyndra katakan memang benar. Sedari tadi aku memang menahan diri. Yang sebenarnya terjadi adalah aku sangat rindu…. Aku benar-benar rindu berada dalam pelukannya seperti ini.

Rasanya hangat sekali…. Tuhan, bolehkah aku meminta agar waktu berhenti sebentar saja?

Namun, sekonyong-konyong kesadaran berpulang sepenuhnya padaku.

Tidak seharusnya seperti ini, Eliza…. Kau sudah jelas tahu bahwa bersama dengan Reyndra adalah kesalahan. Laki-laki itu tak pernah berubah. Bukankah kau sendiri yang sering berkata bahwa kau sudah lelah dengannya?

Pikiran-pikiran itu membuat tubuhku menegang. Tanpa bisa kukendalikan, tangisku pecah. Air mata kini tak segan-segan turun satu persatu.

“Jangan menangis, Eliza sayang!” Entah bagaimana Reyndra bisa tahu aku menangis dalam diam.

“Aku lelah.” Nyatanya, aku benar-benar lelah. Aku ingin menyerah saja.

“Itu karena kau terus membohongi dirimu sendiri. Jangan pernah menghalangi perasaanmu, El! Apalagi hanya karena komitmen bodoh itu.” Laki-laki itu rupanya belum berhenti berusaha mempengaruhiku. Aku benci mendengarnya. Kenapa sulit sekali baginya untuk tidak menganggap komitmen sebagai hal bodoh?

“Aku tidak bisa, Rey.” Aku menguatkan diri. Aku tidak bisa menerimanya juga cara berpikirnya itu. Tidak akan pernah bisa.

“Aku akan mulai untuk benar-benar melupakanmu.” Semoga saja bisa, Rey….

“Jadi, kita sudah benar-benar selesai sekarang?” tanyanya memastikan.

“Ya, dan kau bisa kembali pada perempuan itu tanpa perlu mengingatku lagi,” jawabku, namun tak mampu kusuarakan.

“Lepaskan aku!” perintahku padanya.

Tolong lepaskan aku sebelum aku berubah pikiran, Rey….

“Jaga dirimu baik-baik, El!” katanya setelah menuruti permintaanku.

“Aku akan selalu baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir padaku.” Aku menjawab dengan nada bicara meyakinkan. Tidak hanya untuk menyakinkan laki-laki itu, tetapi juga untuk menyakinkan diriku sendiri.

Kau pasti bisa baik-baik saja, Eliza…. Kau pasti bisa.

Akhirnya, aku benar-benar pergi meninggalkan Reyndra. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku. Yang aku tahu, aku lelah. Aku berharap keputusanku untuk menyerah adalah benar.

*****

Terkadang, seorang perempuan meninggalkanmu bukan karena ia berhenti mencintaimu. Ia hanya lelah dan merasa bahwa kau tidak akan pernah berubah.

*****

Bekasi, 7 Oktober 2012

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline