Lihat ke Halaman Asli

Didik Prasetyo

Live - Love - Life

Wito, Si Tukang Sol Sepatu

Diperbarui: 24 September 2025   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wito, Si Tukang Sol Sepatu | doc pribadi

Pagi di Tenggara selalu dimulai dengan debu dan deru. Jalan raya depan pasar tak pernah sepi: deretan angkot tua berebut penumpang, klakson motor bersahutan, pedagang sayur berteriak menawarkan dagangan, dan di salah satu sudut trotoar, di bawah rindang pohon asem, seorang lelaki tua duduk bersahaja di bangku reyot. Dialah Wito, si tukang sol sepatu.

Peralatannya sederhana: palu kecil dengan gagang yang sudah retak, jarum lengkung, gulungan benang nilon hitam, sebotol lem bau menyengat, dan sebilah pisau tumpul yang menemaninya lebih lama daripada istrinya sendiri. Di depannya, bertumpuk sepatu dan sandal milik orang-orang Tenggara: ada sepatu sekolah anak-anak, sepatu kerja yang solnya jebol, sampai sandal jepit yang putus di tengah jalan.

Dengan gerakan pelan tapi pasti, Wito menusukkan jarum ke kulit sepatu. Tangannya kasar, kapalan, penuh bekas luka kecil. Benang nilon ditarik kuat-kuat, menutup sobekan, mengikat kembali bagian yang renggang. Setiap jahitan adalah sabar yang diulang-ulang. Setiap sol yang ditempelkan kembali adalah kepercayaan bahwa sesuatu yang rusak masih pantas diberi kesempatan kedua.

"Sepatu masih bisa diperbaiki, Mas. Asal kuat benangnya, asal sabar tangannya," ujar Wito sambil tersenyum tipis kepada seorang mahasiswa yang menunggu sepatunya disol. Senyum itu ringan, tapi matanya menyimpan kerikil letih.

Wito sudah hampir tiga dekade duduk di tempat yang sama. Ia saksi bisu perubahan zaman. Dahulu, pelanggannya bisa mengantre panjang, dari pegawai kantor, sopir angkot, sampai ibu-ibu yang membawa sandal putus. Kini, semakin jarang orang datang. Orang lebih memilih membeli sepatu baru di toko swalayan atau memesan lewat aplikasi daring. Buat apa menambal yang rusak, kalau bisa membeli yang baru?

Ironisnya, para pembeli sepatu baru itulah yang sering lalu-lalang di depan Wito, menenteng kantong belanja dengan bangga, tanpa sedikit pun menoleh ke arah lelaki tua yang menekuni benang dan jarumnya.

Kadang aku berpikir, dunia ini memang pandai berlagak: sepatu yang rusak masih bisa dijahit, tapi jalan hidup yang sobek entah siapa yang mau memperbaikinya. Janji yang retak lebih sering dibiarkan patah. Persahabatan yang renggang tak jarang ditinggalkan begitu saja. Bahkan cinta yang bocor lebih sering diganti dengan pasangan baru daripada dijahit ulang dengan kesetiaan.

Benang yang ditarik Wito adalah waktu. Jahitan yang rapat adalah upaya agar langkah orang tetap utuh. Tapi siapa yang masih percaya pada tambalan sederhana?

Di tengah hiruk-pikuk jalan Tenggara, Wito tetap bertahan. Sesekali ia bercanda dengan pelanggan kecilnya. "Kalau sepatu kamu kuat, langkahmu juga harus kuat, Le," katanya pada seorang bocah berseragam SD yang menunggu sandal jepitnya dilem. Bocah itu tertawa kecil, meski tak mengerti bahwa kalimat sederhana itu adalah wejangan hidup yang ia bawa pulang bersama sandalnya.

Sore menjelang, ketika bayangan pohon asem semakin panjang, Wito membereskan peralatan. Uang receh hasil sol hari itu dimasukkan ke kaleng bekas biskuit. Tak banyak, kadang hanya cukup untuk membeli beras dan lauk sederhana. Tapi Wito tahu, selama tangannya masih bisa menjahit, hidupnya masih punya arti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline