Lihat ke Halaman Asli

Akhlis Purnomo

TERVERIFIKASI

Copywriter, editor, guru yoga

Kreasi Digital Akan Antar Indonesia jadi Negara Adidaya

Diperbarui: 28 November 2016   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

SELAMA enam tahun ini, saya menyaksikan adanya sebuah euforia yang membahana dari Jakarta hingga ke berbagai daerah di pelosok nusantara berkat kehadiran Facebook dan Twitter. Anak-anak muda makin banyak yang tertarik dengan startup digital. Tiba-tiba menjadi entrepreneur digital seolah menjadi cita-cita baru yang lebih ‘keren’ dari cita-cita konvensional seperti keinginan menjadi insinyur, dokter, pegawai negeri, dan sebagainya. Hal ini tentu saja meggembirakan karena bangsa ini dikenal dengan jumlah populasi mudanya yang melejit, hampir tak terkendali. 

Sayangnya, kanal-kanal penampung tenaga kerja baru ini sudah luber semua. Kemungkinan meningkatnya angka pengangguran pun tidak terelakkan. Namun, kemunculan hasrat menjadi entrepreneur digital di tengah kalangan muda bisa menjadi alternatif untuk menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja baru dengan produktivitas dan semangat berkarya yang sangat tinggi ini. 

Perlahan-lahan tren membuat startup digital tidak cuma terjadi di pusat kegiatan ekonomi Indonesia seperti Jakarta dan kota-kota besar di Jawa tetapi juga sampai ke sejumlah kota di luar Jawa. Dari lomba membuat business plan sampai ‘kencan kilat’ (speed dating) antarentrepreneur digital dan investor potensial, kita dapat saksikan adanya geliat di sektor anyar ini. Di sisi lain, makin banyak juga korporasi dan lembaga baik pemerintah dan swasta yang ikut serta dalam upaya-upaya mendorong kreativitas generasi muda di industri yang masih sangat baru ini.

Tantangan Pola Pikir Kolot

Akan tetapi, semuanya masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sepanjang pengamatan saya, belum ada upaya yang benar-benar terpadu dan terintegrasi antara berbagai pemangku kepentingan untuk membangun negeri dengan kreasi digital dengan membantu menciptakan sebuah pusat kreasi digital terpadu, layaknya Silicon Valley di Amerika Serikat sana. Pemerintah meski sudah berada di rezim baru yang dikenal lebih gesit masih menunjukkan kelambanannya untuk bergerak menanggapi perkembangan pasar sementara para entrepreneur dan pasar tidak bisa berdiam sendiri. Mereka terus bergerak meski harus ‘bergerilya’. 

Beberapa berhasil melejit hingga dikenal oleh pelaku industri digital di mancanegara. Ambil contoh  startup jejaring sosial asli Indonesia, Koprol, yang pernah dibeli Yahoo (meskipun akhirnya harus dilepas lagi karena Yahoo mulai sekarat). Dan kalangan awam masih buat mengenai tren startup digital. Go-Jek pun menjadi satu ikon yang mewakili tren baru ini.

Saya pernah bertemu dengan sejumlah entrepreneur muda. Beberapa dari mereka memang menekuni dunia startup ini sebagai mata pencaharian utama tetapi masih lebih banyak lagi yang menekuni startup sebagai pekerjaan sampingan saja. Dan selama bertahun-tahun tetap saja demikian, karena mereka dituntut oleh lingkungan (keluarga, masyarakat) agar memiliki sebuah pekerjaan utama yang stabil. Startup yang baru dan lincah memang bagus untuk menyalurkan ide-ide segar yang tidak bisa diwujudkan dalam sebuah korporasi besar dan mapan tetapi kaku dan lamban. Tetapi dalam segi kemapanan finansial, para pelaku startup harus mengakui kekurangannya. 

Dan masyarakat kita belum bisa memahami dan memaklumi mereka yang seolah tidak memiliki pekerjaan tetap (alias pergi ke kantor setiap hari kerja dengan memakai seragam dan pakaian formal), terutama masyarakat Indonesia di daerah-daerah yang umumnya masih kolot soal konsep kerja yang mapan.

Apa yang masih terjadi ialah banyak orang tua masih tidak membolehkan anak-anak mereka menjadi entrepreneur begitu mereka lulus dari sekolah. Kalian harus bekerja di perusahaan atau pemerintahan, begitu mungkin kira-kira pesan mayoritas orang tua Indonesia.

Pola pikir semacam ini tentunya kurang mendukung perkembangan dunia startup digital kita. Padahal mereka – kelompok baby boomers yang dibesarkan dengan kondisi ekonomi stabil -- tidak tahu bahwa tatanan ekonomi dunia sedang mengalami pergeseran. Korporasi-korporasi besar global, contohnya Lehman & Brothers, tidak sekokoh yang mereka kira. Bahkan jika ada yang masih berpikir menjadi PNS itu pekerjaan termapan di dunia, ketahuilah bahwa sebuah pemerintahan pun bisa bangkrut dan kebangkrutan itu memicu krisis keuangan nasional dan regional (lihat saja kasus Yunani).

Kebanyakan masyarakat Indonesia juga masih mencap mereka yang bekerja sebagai entrepreneur sebagai pengangguran. Ini pemikiran yang salah besar! Anak-anak mereka dibesarkan dengan dogma bahwa menjadi pegawai adalah sebuah kebanggaan, sehingga tidak ada alternatif lain bagi mereka, bekerjalah dalam sebuah entitas yang mapan dan pasti daripada bekerja secara mandiri dan menciptakan lapangan kerja untuk sesama. Hal ini ditambah dengan sikap menghakimi mereka yang gagal dalam upaya menjadi entrepreneur digital sebagai pecundang. Ini memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat kita yang masih menganggap kegagalan adalah sebuah aib daripada sebuah batu loncatan menuju kesuksesan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline