Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

pegiat literasi

Jadi Pejabat Machiavellian

Diperbarui: 24 Januari 2021   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.salam-online.com

Buat aku saran ini aneh! Betapa tidak, seorang teman menyarankan aku harus berlaku sebagai calon pejabat tapi berperilaku penjahat. Cerita bermula ketika aku mengikuti sebuah ajang seleksi untuk sebuah posisi yang konon katanya politis. 

Disebut politis, karena para pesertanya bisa siapa saja tanpa harus punya afiliasi politik maupun bisnis dengan para pejabat rekruitmentnya. Tapi rumor yang beredar, dari kesemua calon yang kelak bakal dipilih, semuanya telah ada dalam daftar si pejabat penerima alias, segala sesuatu berkaitan dengan rekruitmen, semuanya hanya formalitas belaka.

Belum lagi seorang teman membisik, bahwa kita hanya para pengantar dan pemain figuran dalam proses dan prosesi rekruitmen tersebut, untuk mengesankan bahwa segala proses telah prosedural dan transparan di mata publik.

Tapi tetap saja aku menyangkalnya. Setidaknya menurutku, beberapa orang yang bakal dipilih akan tersedia ruang bagi para calon yang minimal memiliki kapasitas, dibanding hanya mengandalkan kedekatan politis. Artinya dalam pendekatan politis maupun personal, setidaknya yang normal mungkin masih menggunakan pendekatan intelektual dalam memilih calon yang bakal duduk di posisi terhormat tersebut. Atas dasar itu, aku tetap berkeyakinan dan optimis untuk tetap ikut dalam semua prosesi hingga babak akhir.

Dalam tahapan proses tersebut, lima diantaranya aku lulus dengan sukses, dan giliran babak penentuan dengan panitia seleksi, aku kecolongan daengan pertanyaan yang terlihat mudah. Ketika kuceritakan pada teman, ia berkomentar, mestinya dalam sesi itulah kita harus menunjukkan bagaimana kita berperilaku sebagai seorang pejabat tulen kalau perlu menjadi "penjahat" sekalian. 

Tak pernah mau mengalah, walaupun salah, bisa membantah sekalipun tak persis benar dan berdebat untuk apapun persoalan. Ini menurutnya akan menunjukkan "kepiawaian" kita dalam mengontrol situasi dan kondisi. Dengan berperilaku seperti itu, para tim seleksi akan melihat 'kekuatan" kita dalam mengatasi setiap masalah, sekalipun kita dalam posisi yang salah. begitu komentar teman tersebut.

Tak usahlah pedulikan nurani, ikuti saja apa kata Machiavelli, tegasnya lagi. Selain didunia tak ada yang gratis, tak ada teman yang benar-benar bisa disebut teman, jadi anggap saja siapa saja sebagai pesaing yang harus dilawan. 

Rasanya aku tak pernah membacanya dalam buku Machiavelli, "Il Principe-Sang penguasa". Mungkin yang tadi modifikasi sang teman setelah melihat situasi dan kondisi "perpolitikan" dan banyaknya "politik kepentingan" ketika menuju kursi panas kekuasaan.

Tapi hingga hari ini, aku masih 'waras" barangkali, sehingga saran itu masih masuk telinga kiri keluar kanan, sambil sesekali direnung-renung, apa persisnya harus seperti itu?. Aku memilih menggunakan idealisme, meskipun sudah kadaluarsa, seperti kata temanku. Meski persisnya bukan seratus persen orang baik dan beriman, setidaknya aku masih berharap tetap menjadi orang baik. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline