Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

TERVERIFIKASI

pegiat literasi

Dicari, Pemimpin Bervisi Benar!

Diperbarui: 5 Februari 2021   02:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

muslimahnews.com

Dalam sebuah diskusi di ruang pasca UIN Ar-Raniry, Prof. DR. M.Hasbi Amiruddin,MA, melontarkan sebuah pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik. Pilih tokoh Aceh yang paling layak diposisikan sebagai menteri dalam kabinet kita mendatang?. Dalam diskusi yang berkembang kemudian ternyata pertanyaan sederhana itu cukup sulit dicarikan jawabannya. Prof Hasbi ber-argumentasi bahwa fakta pudarnya pamor para menteri asal Aceh dalam kabinet yang ‘berkelanjutan’, menunjukkan ‘sesuatu’ yang harus dibenahi. Akarnya berkorelasi dengan soal kapasitas, visi dan mindset dalam menjejak perpolitikan di Aceh dan Nasional.

Pertanyaan kritis dan sensitif ini menarik karena dapat menyinggung harga diri dan identitas. Namun pertanyaan menjadi penting dan relevan dipertanyakan dalam kondisi ketika secara politik tidak stabil, secara ekonomi belum sejahtera, dan secara sosio-kultural, khususnya pendidikan masih tertinggal.

Padahal, tanpa bermaksud ber-apologis, kemasyhuran Aceh meninggalkan jejak banyak tokoh bervisi besar, sehingga tidak heran dalam rentang sejarah yang panjang, Aceh menjadi wilayah yang tidak mudah ter-provokasi dan tidak mudah ‘dijajah’, bahkan oleh Belanda di era kolonial yang ketika itu menemukan lawan sepadan dalam Perang Aceh yang panjang dan melelahkan.

Krisis Kepemimpinan

Sekedar menyebutkan nama dengan mudah dapat dilakukan. Lalu, apakah kapasitas dan visinya dalam membangun Aceh dan Indonesia sudah jelas?. Tentu saja maksud pertanyaan Prof Hasbi tidak sesederhana hanya sekedar ‘melemahkan’ kapasitas Acehnya sendiri. Pertanyaan tersebut, mengingatkan saya kepada pertanyaan Kishore Mahbubani, seorang Diplomat Karir di PBB asal India, yang menuang gagasannya dalam bukunya yang provokatif ’Bisakah Orang Asia Berpikir?’ (Can Asians Thinks?).

Dalam kerangka itu, sekalipun dapat menyinggung harga diri dan identitas, Mahbubani mencoba menggali akar masalah dengan mengaitkannya dengan persoalan mindset. Tentu saja, pertanyaan tendensius Mahbuhani, tidak dimaksudkan seratus persen untuk menjustifikasi, bahwa orang Asia sesungguhnya tidak bisa berbuat banyak dalam konteks menyumbang pemikiran yang dapat menciptakan trend atau kecenderungan ke arah perubahan yang lebih baik.

Bahkan karena sensitifnya pertanyaan ini, Mahbubani menjawabnya dalam tiga alternatif jawaban; Tidak, Bisa dan Mungkin. Menurutnya, kemungkinan jawabanya adalah mungkin. Mengapa? Karena kita akan menjawab ‘bisa’ jika bertolak dari harga diri dan identitas, atau mengatakan ‘tidak’ jika melihat fakta kondisi aktual. Sementara ‘mungkin’ menjadi sangat subjektif tergantung pihak mana yang akan dijadikan sasaran pertanyaan. Bahkan menurut Mahbubani, ketika kita bisa menemukan pertanyaan itu, maka itu tandanya kita sebenarnya mampu berpikir. (Mahbubani; x/8/2005).

Pertanyaan Mahbubani sebelas tahun lalu, setidaknya masih relevan dikaitkan dengan pertanyaan Prof Hasbi tersebut. Lagi-lagi dalam konteks sebagai introspeksi atau sebut saja otokritik atas apa yang dibahasakan oleh sebagian pengamat sebagai ‘krisis kepemimpinan’.

Kehadiran sosok yang disebut pemimpin yang menggawangi seluruh persoalan pembangunan di Aceh saat inipun, masih dalam  balutan polemik. Dengan kata lain dipimpin oleh ashoe lhok (penduduk asli tempatan) yang paham seluk beluk ‘isi dalam’ Aceh dengan ‘rasa memiliki’ yang lebih tinggi dari pendatang, sebagaimana diimpikan Hasan Tiro, ternyata belum memberikan jaminan. Baik visi maupun platform (jika ada) belum mampu mengakomodir aspirasi rakyat. Meminjam istilah Teuku Kemal Pasya, bahwa frasa menjadikan Aceh seperti Brunei Darussalam dan Singapura tidak lebih dari sekedar politik ‘goyang lidah’. Bahkan nyaris tidak punya pola, visi dan perencanaan pembangunan.

Tak sedikit kritik yang ditujukan langsung atas kepemimpinan Aceh saat ini, dalam kerangka membangun sebuah Aceh Baru sebagaimana disodorkan Konsorsium Aceh Baru dalam pilihan fase ‘Aceh Lama’, ‘Aceh Baru’, bahkan ‘Aceh Hancur’ dengan frasa dan pemahaman penting mencari arah pembangunan Aceh masa depan sebuah negeri Madani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline