Fenomena flexing kekayaan oleh pejabat publik dan keluarganya di ruang publik, khususnya ruang digital, telah bertahun - tahun disajikan tanpa teguran, tanpa malu malu disuguhkan oleh pejabat dan keluarganya di ruang publik media digital. Hal ini telah menjadi salah satu pemicu utama ledakan kemarahan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Pada satu sisi, rakyat di berbagai negara harus berjibaku menghadapi tekanan ekonomi: inflasi yang tinggi, harga kebutuhan pokok yang melambung, lapangan kerja yang terbatas, hingga beban pajak yang semakin menyesakkan. Namun, pada sisi lain, publik disuguhi pemandangan kontras: pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru tampil di media sosial dengan sikap arogan, pamer harta mewah, dan gaya hidup glamor yang jauh dari realitas keseharian rakyat banyak.
Kondisi ini menimbulkan paradoks sosial yang menyakitkan. Pajak yang dipungut dari rakyat kecil sejatinya dimaksudkan untuk kepentingan bersama, membiayai pembangunan, serta menjamin kesejahteraan. Namun, dalam praktiknya, justru banyak kasus menunjukkan pejabat dan keluarganya memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, bahkan tidak jarang mereka sendiri kedapatan tidak patuh membayar pajak. Ketidakadilan ganda ini rakyat dibebani pajak, sementara pejabat menikmati fasilitas negara dan sekaligus pamer kekayaan menjadi bahan bakar utama yang menyulut amarah publik.
Ledakan kemarahan ini tidak lagi terbatas pada ekspresi di media sosial. Di berbagai negara, kemarahan publik menjelma menjadi aksi nyata, menyasar simbol-simbol kekuasaan, mulai dari rumah pribadi pejabat, rumah dinas, hingga gedung-gedung pemerintahan. Fenomena yang kerap disebut social breaking ini memperlihatkan bahwa masyarakat tidak hanya marah, tetapi juga berusaha meruntuhkan legitimasi moral pejabat yang dianggap arogan dan tidak berempati.
Di Indonesia, kasus pejabat dan keluarganya yang memamerkan kekayaan di tengah rakyat yang semakin terhimpit menjadi sorotan besar. Aksi digital activism warga yang membongkar aset hingga gaya hidup keluarga pejabat memperlihatkan betapa kuatnya media sosial sebagai alat kontrol publik. Kemarahan rakyat yang terkumpul di ruang digital beresonansi di dunia nyata, menekan lembaga pemerintah untuk bertindak, mulai dari pemeriksaan pajak hingga sanksi jabatan.
Fenomena serupa juga terjadi di Nepal. Negara dengan kondisi ekonomi yang rentan ini menyaksikan bagaimana pejabat dan elit politik kerap mempertontonkan gaya hidup berlebihan, bahkan saat sebagian besar warganya bergulat dengan pengangguran dan krisis biaya hidup. Respons publik pun tidak kalah keras. Media sosial di Nepal bahkan sempat tidak diperbolehkan karena dipenuhi kritik, sindiran, dan gerakan perlawanan digital yang mengekspos kesenjangan tajam antara elit dan rakyat. Bentuk social breaking di Nepal lebih berupa serangan simbolik di ruang digital, meski perlahan mulai berwujud aksi massa di ruang publik.
Fenomena lintas negara ini menunjukkan pola yang sama: ketika rakyat terhimpit masalah ekonomi dan dipaksa menanggung beban pajak, sementara pejabat yang seharusnya menjaga amanah justru pamer kekayaan, maka legitimasi kekuasaan akan runtuh. Media sosial mempercepat resonansi kemarahan ini, menjadikannya gerakan kolektif yang sulit dibendung. Inilah alasan mengapa flexing pejabat di era digital bukan sekadar isu gaya hidup, tetapi pemicu krisis legitimasi politik yang berimplikasi luas terhadap stabilitas sosial dan demokrasi.
Fenomena social breaking yang muncul di ruang digital tidak bisa dilepaskan dari cara masyarakat menafsirkan simbol-simbol, bahasa, dan narasi yang diproduksi serta disebarkan pejabat publik. Media sosial dalam hal ini bukan hanya menjadi medium komunikasi, melainkan arena pertempuran simbolik di mana kuasa dan perlawanan berhadap-hadapan.
Simbol yang kuat adalah visual yang dihasilkan rakyat sendiri. Foto pejabat berpose dengan barang mewah dipadukan dengan gambar rakyat miskin atau antre bantuan sosial, menciptakan kontras tajam. Bentuk visualisasi ini bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan strategi komunikasi kritis untuk membalikkan pesan kekuasaan. Jika pejabat bermaksud menunjukkan prestise, rakyat mengubahnya menjadi bukti arogansi.
Proses ini yang melahirkan social breaking: sebuah upaya dramatik rakyat untuk membalikkan dominasi simbolik. Perlawanan tidak dilakukan melalui senjata atau revolusi fisik, tetapi lewat bahasa, meme, satire, dan simbol tandingan yang beredar cepat di media sosial. Social breaking menandai bahwa legitimasi simbolik penguasa tidak lagi kokoh; publik berani meruntuhkannya dengan tawa, sindiran, bahkan penghinaan terbuka.
Fenomena ini terlihat jelas di Indonesia, Nepal, dan akan menyusul di beberapa negara jika menghadapai masalah sosial yang sejenis. Meski konteksnya berbeda, pola yang muncul serupa: ketika simbol kekuasaan ditampilkan melalui flexing, rakyat membalas dengan simbol tandingan. Dari komentar sinis di Twitter, video satir di TikTok, hingga aksi nyata di jalanan, semuanya berakar pada upaya merebut kembali ruang makna. Teori kritis membantu kita memahami bahwa social breaking bukanlah ledakan emosional semata, melainkan proses sistematis pembalikan hegemoni simbolik elit yang arogan.
Media sosial membuat semua orang punya panggung yang sama. Jika dulu pejabat bisa menjaga citra lewat media resmi, kini netizen bisa langsung membandingkan ucapan dan tindakan mereka. Kata-kata arogan seperti "tinggal makan indomie saja bisa kaya," atau ucapan meremehkan kondisi ekonomi rakyat, langsung dipelintir jadi bahan sindiran. Netizen tidak sekadar mengkritik, mereka menciptakan narasi tandingan. Ucapan pejabat yang dimaksudkan sebagai gurauan justru menjadi simbol kesombongan, disebarkan luas, dan akhirnya merusak wibawa si pejabat itu sendiri.