Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Malas Itu Juga Penting?

Diperbarui: 15 Mei 2021   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh. Purwalodra

Sampai hari ini, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dalam rangka percepatan penanganan pandemic Covid-19, masih berlaku di wilayah Jabodetabek. Arus lalu lintas dan manusia masih seperti biasa, meskipun sedikit berkurang di jalan-jalan utama kota. 

Sebagian besar warga kota tinggal dirumah, bekerja dari rumah, belajar di rumah, bahkan beribadah di rumah. Institusi pemerintah, swasta dan agama dipaksa menghilangkan identitasnya sebagai sebuah kerumunan (the crowd Soren Kierkegadrd). Namun, kondisi sebaliknya terjadi di daerah, dimana saya tinggal, warga masih asyik ngerumpi, bahkan sambil mencari kutu rambut atau mencabut sebagian uban yang terus bertumbuh. Mereka tidak merasa ada sesuatu yang luar biasa ?!!

Dengan adanya PSBB atawa Lock down, bahasa kerennya, justru membuat sebagian warga yang masuk kategori miskin menjadi kesulitan beraktivitas. Mereka sulit berdagang, sulit ngojek, sulit cari utangan, sulit bayar utang, bahkan mereka juga sulit mencari pelanggan. Meskipun, bantuan pemerintah sudah digulirkan, masih banyak saja warga yang belum bisa menikmati sembako gratis tersebut. Data lama menjadi andalan ketua-ketua RT dan RW, karena mereka diminta oleh kelurahan untuk menyiapkan data warga yang berhak menerima kucuran sembako gratis, hanya dalam waktu 24 jam saja.

Sebelum Corona, sengaja atawa tidak, diimpor dari luar negeri, orang-orang pinggiran kota di wilayah saya, yang berkategori sebagai warga malas, miskin, dan bodoh, beraktivitas seperti biasa meskipun identitas malas, miskin dan bodoh dilekatkan secara sengaja oleh orang-orang yang merasa rajin, berpendidikan dan hidup berkecukupan. 

Bahkan ada seorang pejabat sebuah organisasi, memahami betul karakter malasnya orang-orang di wilayah saya. Pejabat itu selalu membandingkan produktivitas orang-orang dimana saya tinggal, dengan orang Vietnam, negara yang tiba-tiba memiliki produktivitas diatas Indonesia. Pejabat itu menghubungkannya dengan Indeks Produktivitas Manusia yang menjadi parameter, bahwa seseorang itu dikategorikan sebagai malas atau tidak malas. Sehingga meletakkan asumsinya kepada sifat malas sebagai indikator maju tidaknya suatu bangsa.

Justru, yang saya rasakan di masa-masa Lock Down inilah, yang sangat terlihat sibuk adalah mereka-mereka yang tergolong malas dan miskin. Di kampung-kampung, mereka masih beraktivitas seperti biasanya, tanpa rasa takut terhadap korona. Meskipun mereka tak boleh pergi melalui jalan-jalan utama kota, kecuali mengantarkan pesanan barang secara online.

Pemberlakuan PSBB atawa Lock Down, buat orang-orang di wilayah saya, mungkin baru pertama kali, karena peraturannyapun dibuat dan sah berlaku beberapa minggu lalu. Anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk PSBB tidaklah kecil. Berbagai program dilahirkan secara dadakan dengan asumsi, tokh masyarakat kita pemalas dan rata-rata miskin. Mereka bisa menjadi obyek anggaran yang digelontorkan pemerintah.

Namun demikian, masih ada juga kepala daerah yang dengan sombongnya mengatakan bahwa ada masyarakatnya yang mengembalikan sembako gratis dari pemerintah dengan alasan tidak mau dianggap miskin. Bersamaan dengan itu, warga di sekitar rumah saya, sedang memaki-maki ketua Rt dan RW-nya lantaran tidak adil dan tidak transparan mendata warganya agar bisa kebagian sembako gratis.

Di dalam ajaran moral tradisional, kemalasan dianggap sebagai sesuatu yang buruk, sehingga orang yang malas pasti akan menjadi orang yang miskin dan bodoh. Sementara, kita juga belum bulat menyimpulkan mana lebih duluan dan/atau apakah ada hubungan sebab-akibat, antara kemiskinan dan kebodohan itu.

Secara filosofis, kita perlu membedakan dua bentuk kemalasan. Yang pertama adalah kemalasan tanpa tujuan. Seserang hanya sekedar malas. Ia hanya mau bersantai seharian, tanpa tujuan apapun yang ada di kepalanya. Inilah kemalasan yang dicerca dan dihina oleh berbagai bentuk ajaran moral. Dan banyak orang membenarkan, bahwa orang yang malas tanpa tujuan akan menjadi miskin dan bodoh. Namun, ada jenis kemalasan yang kedua, yakni kemalasan yang bijak. Di sini, seseorang malas untuk mengerjakan sesuatu, namun ia punya tujuan yang jelas dalam hidupnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline