Lihat ke Halaman Asli

Budaya Jawa sebagai Dasar Politik Santun

Diperbarui: 7 Agustus 2018   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tata krama sangat dijunjung tinggi masyarakat jawa sebagai simbol kultur yang menghargai nilai-nilai tradisional.  Melantunkan kalimat juga tidak bisa sembarangan, krama inggil mutlak menjadi pijakan dalam berkata-kata agar tidak terjadi gesekan dan ketersinggungan pada lawan bicara. 

Walau jaman sudah berubah pada era kontenporer, namun masyarakat jawa senantiasa memelihara simbol-simbol budaya sebagai jati diri sebuah masyarakat.  

Salah satu dasar dalam bersosialisasi dalam masyarakat jawa adalah adanya budaya kasat mata ewuh pakewuh yang mempunyai keunikan tersendiri.  Ewuh dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "repot" sedangkan pakewuh juga dalam bahasa Sansekerta memiliki arti tidak enak perasaan.  

Nah...ribet kan? seribet jarikan pada pakaian adat jawa. Ewuh pakewuh merupakan budaya wajib masyarakat jawa dalam memaknai kaidah kehidupan, rasa tidak enak hati pada orang lain menjadi hal umum, sehingga masyarakat jawa terkesan tidak tegas dan penuh basa basi.

Membangun energi positif budaya Ewuh pakewuh menuju kesantunan politik pada Pilkada Jawa Tengah diharapkan mampu menciptakan iklim sejuk dan kondusif.  

Kesamaan kultur para kandidat semakin menguatkan rasa ewuh, bahkan tanpa ragu-ragu Taj Yasin memanggil "Mbak" kepada Ida Fauziah, dan membalaskan dengan menyebut "Gus" kepada Taj Yasin.  

Bentuk keakraban diantara keduanya didasari oleh kesamaan format perjuangan organisasi melalui NU.  Dengan pondasi keakraban akan timbul rasa ewuh pakewuh dan bisa dimanfatkan sebagai benteng dalam menghindari gesekan politik antar kandidat maupun pendukung. 

Pakewuh erat kaitannya dengan kesantunan politik masyarakat jawa dalam menjunjung kebudayaan yang adiluhung.  Unggah-ungguh tata krama dan ewuh pakewuh menjadi sebuah undang-undang bagi orang jawa dalam eksistensi diri sebagai mahluk sosial, bahkan dalam berpakaian pun tersisipkan peraturan-peraturan budaya kompleks dan penuh dengan filosofi.  

Batik motif parang merupakan simbol kekuasaan, tidak akan dipakai oleh raja ketika bertemu dengan raja lainnya karena rasa pakewuh.  Filosofi tersebut bisa disadur sebagai sebuah acuan dalam pelaksaan kampanye para kandidat  untuk menciptakan pemilu adem ayem.

Rasa pakewuh juga bisa dijadikan sarana mengontrol diri dalam melakukan tindakan disamping merujuk pada kepantasan dan etika dalam perbuatan, meski sebenarnya perilaku tersebut pada dasarnya boleh dilakukan. 

Selain itu dengan menerapkan pakewuh, seseorang mampu menempatkan diri sesuai dengan bentuk-bentuk kepantasan yang berlaku pada tatanan sebuah masyarakat.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline