Lihat ke Halaman Asli

William Wijaya

Branding & Marketing Specialist

Tuntutan 17 + 8 adalah Tuntutan Ilusi

Diperbarui: 11 September 2025   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Influencer sedang melakukan tuntutan demo, sumber : BBC

Pada akhirnya, tuntutan 17 + 8 hanyalah fatamorgana: terlihat megah secara konsep, tapi tanpa arah instruksi yang definitif.

Saya sudah membaca isi tuntutan 17 + 8 yang belakangan ramai dibicarakan. Terus terang, saya melihatnya bukan sebagai terobosan cerdas, tapi justru cermin betapa masyarakat kita masih belum benar-benar kritis. Kenapa? Karena masalah utamanya bukan terletak pada isi tuntutan itu sendiri, melainkan pada lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di negeri ini.

Bagaimana jadinya tuntutan ini malah dijadikan senjata untuk membungkam bukan untuk kebaikan bila tidak ada kontrol ketat?

Aturan Sudah Ada, Tapi Tidak Ditegakkan

Coba kita ingat, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 sudah jelas melarang pejabat publik untuk merangkap jabatan. Alasannya masuk akal: untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga netralitas kinerja. Tapi kenyataannya? Masih banyak pejabat yang dengan santainya duduk di dua kursi sekaligus. Bahkan di kementerian besar seperti Kemenkeu, puluhan pejabat masih merangkap sebagai komisaris BUMN. Ada juga wakil menteri yang sekaligus jadi komisaris di Pertamina atau PLN. Ini jelas pelanggaran, tapi pengawasan dari lembaga seperti KPK atau Ombudsman terasa seperti formalitas belaka.

Sederhananya, ibarat kita lapor maling motor ke kantor polisi, aturan dan prosedurnya memang sudah ada, tapi apakah maling itu benar-benar ditangkap? Nah, jawab sendiri.

Demo Agustus 2025 dan Tuntutan yang "Angin Lalu"

Tuntutan 17 + 8 yang muncul dari demo besar Agustus 2025 sebenarnya penuh dengan aspirasi bagus: transparansi, reformasi, keadilan. Tapi kalau dipikir jernih, banyak poin di dalamnya sudah tertulis di undang-undang maupun putusan MK. Persoalannya, aturan itu tidak pernah dijalankan dengan konsisten. Jadi buat apa menumpuk daftar tuntutan baru, kalau yang lama saja tidak dipatuhi?


Demo Tuntutan, Sumber : BBC

Kuncinya Hanya 3, Bukan 17 + 8

Daripada sibuk dengan daftar panjang yang rumit, sebenarnya kunci perbaikan bangsa ini hanya tiga hal mendasar: SDM, Pengawasan, dan Ekonomi.

  • SDM (Sumber Daya Manusia).
    Kalau kita punya SDM yang baik, perilaku negatif seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, atau komunikasi publik yang buruk bisa ditekan. SDM berkualitas juga akan menghasilkan kinerja yang memuaskan. Dari pondasi ini barulah bisa lahir kebijakan-kebijakan definitif yang jumlahnya mungkin lebih dari 20 atau bahkan 50. Tapi saat ini kita lemah dalam meritokrasi: jabatan masih sering dibagi karena kedekatan, bukan karena kapasitas.
    Pengawasan.
  • Pengawasan adalah benteng preventif. Aturan yang sudah ada tidak cukup kalau tidak diawasi. Banyak sekali regulasi yang sebenarnya sudah bagus, tapi justru dilanggar. Contohnya, larangan rangkap jabatan tadi. Tanpa pengawasan yang tegas, aturan hanya jadi formalitas.
    Ekonomi.
  • Fondasi ekonomi yang sehat akan mendorong keadilan sosial dan stabilitas. Kalau korupsi berkurang, dana publik bisa digunakan tepat sasaran, investasi masuk, dan rakyat mendapat manfaat nyata. Sebaliknya, tanpa ekonomi yang kuat, kebijakan sehebat apapun hanya akan jadi teori.

Saat ini penegakan dan pengawasan yang lemah, sumber : freepik

Bukan Soal Aturan, Tapi Penegakan

Masalah utamanya jelas: bukan kurang aturan, tapi lemahnya pengawasan dan penegakan. Ini bukan cuma di pemerintahan, tapi juga di dunia korporasi. Bayangkan kalau aturan anti-monopoli dan anti-korupsi benar-benar ditegakkan secara konsisten: bisnis jadi lebih adil, investor lebih percaya, dan rakyat yang mendapat manfaat. Sebaliknya, dengan penegakan hukum yang setengah hati, kita terus melihat fenomena klasik: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil mudah ditindak, pejabat besar sering lolos.

Akhir

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline