Lihat ke Halaman Asli

Widiarsa

Bekerja di sebuah perpustakaan

KTP Bukan Jogja

Diperbarui: 6 Agustus 2025   14:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Raka dan Ayahnya berpelukan bangga. (Sumber: Copilot)

Di pinggir Kali Code, suara air mengalir tak pernah benar-benar tenang. Kadang deras, kadang lirih, seperti napas Ayah yang pulang malam dengan helm masih menempel di kepala. 

Raka duduk di lantai konrtakan sempit, seragam SMP-nya sudah lusuh, tapi ia tetap menyetrika bagian kerahnya. "Biar kelihatan rapi," katanya pada dirinya sendiri. Di sekolah, ia tak pernah benar-benar dianggap bagian dari "anak Jogja." KTP-nya dari Klaten, dan itu cukup untuk membuat beberapa teman menjauh, guru kadang lupa namanya, dan petugas administrasi selalu bertanya, "Kamu domisili tetap atau sementara?"

Padahal, Raka sudah tinggal di Jogja sejak kelas 4 SD. Ia tahu jalan pintas ke sekolah lewat gang sempit, hafal suara becak tua yang lewat tiap pagi, dan bisa membedakan aroma gudeg dari warung Bu Siti dan Bu Marni, Tapi tetap saja, ia "pendatang." 

Ayahnya driver ojol. Kadang dapat lima order, kadang cuma satu. Ibu sudah lama pergi, katanya kerja di Batam, tapi tak pernah kirim kabar. 

Raka tak pernah minta banyak. Ia cuma ingin lulus SMP, masuk SMK, dan bisa kerja bantu Ayah. Tapi tekanan sosial itu seperti bayangan panjang di lorong sekolah-selalu mengikuti, selalu membuatnya merasa kecil. 

Suatu hari, saat upacara bendera, kepala sekolah bicara tentang "anak-anak berprestasi yang membanggakan Jogja." Raka berdiri di barisan paling belakang, keringatnya menetes, bukan karena panas, tapi karena ia tahu, namanya tak akan disebut. 

Namun sore itu, di pinggir Kali Code, ia menulis di buku catatannya: _"Aku memang bukan asli Jogja. Tapi aku belajar di sini, tumbuh di sini, dan suatu hari nanti, aku akan membuat kota ini bangga padaku,"_ 

---

Malam, itu hujan turun pelan. Raka menunggu Ayah pulang sambil mengerjakan PR Matematika. Lampu kontrakan berkedip-kedip, dan suara hujan di seng membuat suasana makin sunyi. 

Ayah datang dengan jaket basah dan wajah lelah. Ia duduk di lantai, membuka helm, dan menghela nafas panjang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline