Lihat ke Halaman Asli

Bambang Wibiono

Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Mengurai Jejaring Korupsi di Indonesia (1)

Diperbarui: 25 Juni 2020   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Bambang wibiono

_

Korupsi di Indonesia seolah menjadi persoalan yang tidak ada habisnya. Tidak kurang-kurang KPK maupun Polri menangkap pelaku kasus korupsi, namun tak memperlihatkan sedikitpun berkurangnya kasus korupsi di negeri ini. Selalu saja bermunculan, baik di pusat maupun di daerah.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), aparat penegak hukum sebagai ujung tombak dalam upaya pemberantasan korupsi telah menangani 454 kasus sepanjang 2018 saja. Rata-rata kasus dugaan korupsi yang ditangani penegak hukum periode 2015-2018 sebanyak 392 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 1.153 orang dan kerugian negara sebesar Rp 4,17 triliun per tahun.

Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau "extra ordinary crime", sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai "beyond the law" karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (high level economic) dan birokrasi kalangan atas (high level beurocratic).

Permasalahannya, mengapa korupsi begitu merajalela di negara kita dan terlihat sangat sulit diberangus? Tulisan ini akan mengulas panjang lebar mengenai jejaring korupsi yang menjelaskan mengapa menjadi sulit dibasmi.

Korupsi dalam Makna Budaya

Korupsi dalam arti luas, seolah sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Setidaknya kecenderungan koruptif atau sifat korup ada dalam diri sebagian besar dari kita. Atau bahkan tindakan koruptif sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, hanya saja pada skala kecil.  

Untuk bisa menjelaskan permasalahan korupsi yang begitu menjangkiti kehidupan berbangsa dan bernegara kita, perlu melihat dengan pendekatan budaya. Sebab, sebuah tindakan yang telah menjadi kebiasaan dan dianggap mafhum, secara tidak sadar telah menciptakan "sistim norma" yang dalam konteks bermasyarakat dinamakan budaya. Pijakan ini menjadi kunci mengenai tindakan koruptif yang semakin menggurita dan sampai mengkooptasi negara.

Mengapa korupsi disebut sebagai budaya, tak lain karena sudah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, bahkan sebelum kita paham arti apa itu korupsi. Terlalu banyak contoh kasus korupsi dalam arti formal yang terjadi pada lembaga-lembaga pemerintah yang merugikan keuangan negara. Seolah ini melegitimasi bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari kebiasaan birokrasi negara kita.

Belum lagi kalau harus menyebut korupsi dalam arti non-formal atau arti luas, bukan hanya merugikan keuangan negara, yaitu berupa tindakan untuk menguntungkan diri pribadi, kelompok, dan golongannya dengan mengabaikan prinsip-prinsip hukum. Atau korupsi dalam arti tindakan mengambil yang bukan hak kita dan tindakan penyalahgunaan wewenang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline