Dalam realitas hidup banyak keluarga di Indonesia, utang bukan sekadar catatan angka di kertas pinjaman, melainkan cerita panjang tentang perjuangan, pengorbanan, dan kadang kesalahan.
Banyak dari kita tumbuh dalam lingkungan di mana utang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan. Di tengah tekanan kebutuhan dan harapan keluarga, utang sering kali terlihat seperti satu-satunya jalan keluar.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana utang bisa menjadi penyelamat sementara bagi keluarga kami. Sejak saya masuk SMP kelas VII, orang tua saya meminjam uang dari kerabat agar saya bisa bayar uang kas. Kami tidak punya tabungan yang cukup.
Saya tahu bukan hal mudah bagi papa saya untuk meminjam uang, apalagi dengan bunga. Tapi papa lakukan itu dengan wajah tenang dan senyum tipis, seakan semuanya baik-baik saja. Di balik senyum itu, ada beban besar yang saya baru pahami setelah dewasa.
Bukan hanya keluarga saya. Banyak teman-teman saya juga mengalami hal serupa. Ada yang orang tuanya berhutang untuk biaya pengobatan nenek. Ada yang harus rela ikut bekerja sambilan karena gaji orang tuanya habis untuk membayar cicilan.
Bahkan ada yang terpaksa cuti kuliah karena keluarganya terlilit utang rentenir. Yang menyedihkan, banyak dari hutang itu awalnya diambil dengan niat baik demi keluarga. Tapi niat baik tidak selalu berakhir dengan hasil baik, terutama jika tidak disertai perhitungan yang matang.
Dalam masyarakat kita, ada semacam tekanan sosial yang membuat orang merasa harus mampu, harus berjasa, harus memberi yang terbaik, meski sebenarnya belum sanggup.
Banyak orang tua merasa gagal kalau tidak bisa membiayai pendidikan anak sampai sarjana. Banyak anak merasa bersalah jika tidak bisa membantu ekonomi rumah. Dari sini, muncul keputusan-keputusan yang kelihatan heroik, tapi menyimpan risiko besar meminjam uang di luar kemampuan, berutang ke orang lain, gadai surat tanah, bahkan gali lubang tutup lubang.
Kita perlu jujur bahwa tidak semua utang itu sehat. Ada utang yang produktif, seperti modal usaha, atau utang pendidikan yang memang untuk membangun masa depan. Tapi banyak juga utang yang justru menjerumuskan pinjam untuk keperluan konsumtif, pesta, beli barang mewah agar tidak dianggap ketinggalan, atau membayar cicilan dari cicilan sebelumnya.
Semua ini jika dibiarkan, bisa membuat sebuah keluarga yang awalnya harmonis menjadi penuh pertengkaran, saling menyalahkan, dan kehilangan arah.