Lihat ke Halaman Asli

Wasid

Mahasiwa

Pajak Internasional, Yurisdiksi Perpajakan & Hak Pemajakan

Diperbarui: 22 September 2025   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pajak Internasional, Yurisdiksi Perpajakan, Hak Pemajakan

Mulai tahun 2025, Indonesia resmi menerapkan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax) dengan tarif 15%, sebagai bagian dari komitmen mengikuti standar internasional untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Pajak ini berlaku bagi grup perusahaan multinasional dengan peredaran bruto minimal 750 juta, dan diatur melalui PMK serta Surat Edaran Dirjen Pajak terbaru. Kebijakan ini juga mengadopsi mekanisme Income Inclusion Rule (IIR) dan Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT) untuk memastikan pengenaan pajak minimum atas laba yang dialihkan ke yurisdiksi dengan tarif rendah. Penerapan pajak ini diharapkan meningkatkan keadilan pajak internasional dan mengurangi praktik pengalihan keuntungan. Perkembangan Terkini

Pajak Internasional

Perkembangan pajak internasional saat ini didominasi oleh upaya global untuk menangani erosi basis pajak dan pergeseran keuntungan (BEPS) melalui inisiatif OECD/G20. Pada 2025, lebih dari 140 negara telah menandatangani kesepakatan dua pilar (Pillar One dan Pillar Two), yang merevolusi alokasi hak pemajakan dan memastikan pajak minimum untuk perusahaan digital dan multinasional besar. Di Indonesia, implementasi ini selaras dengan reformasi domestik untuk meningkatkan penerimaan pajak hingga 20% dari PDB pada 2025.

Pilar Dua: Pajak Minimum Global (15%):

Mekanisme ini menargetkan perusahaan dengan omzet global di atas 750 juta, memastikan effective tax rate minimal 15% melalui Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) di tingkat nasional. Jika pajak efektif di yurisdiksi rendah kurang dari 15%, top-up tax dikenakan oleh entitas induk (via IIR) atau yurisdiksi sumber (via UTPR jika diperlukan). Indonesia menerapkan ini sejak 1 Januari 2025, dengan pelaporan awal via formulir SPT Tahunan PPh Badan yang disesuaikan, dan sanksi administratif hingga 200% untuk ketidakpatuhan.

Pilar Satu: Redistribusi Hak Pemajakan untuk Ekonomi Digital:

Fokus pada perusahaan digital besar (seperti Google atau Meta) dengan omzet global 20 miliar, di mana 25% keuntungan residual dialokasikan ke pasar konsumen besar berdasarkan formula Amount A. Indonesia, sebagai pasar berkembang, diuntungkan dengan hak pemajakan tambahan atas keuntungan ini, diestimasi menambah Rp10-15 triliun penerimaan pajak tahunan mulai 2025. Implementasi melalui perubahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) No. 7/2021.

Integrasi dengan BEPS 2.0:

Selain pajak minimum, aturan BEPS diperkuat dengan transparansi lebih lanjut, seperti Country-by-Country Reporting (CbCR) yang wajib untuk grup multinasional, termasuk laporan Ultimate Beneficial Owner (UBO). Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggunakan data ini untuk audit transfer pricing, dengan peningkatan kasus penyesuaian hingga 30% pada 2024-2025.

Implementasi di Indonesia dan Dampaknya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline