"Perusahaan, negara, dan wakil rakyat sibuk menjaga citra. Padahal, integritas mereka penuh tanda tanya".
Sudah tertipu, ditinggal sendirian pula. Sungguh malang nasib kita rakyat Indonesia.
Bertahun-tahun, setidaknya dari 2018-2023 masyarakat dibohongi oleh perusahaan negara yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab menyediakan BBM. Rakyat diberi "doktrin" untuk membeli pertamax karena pertalite hanya boleh bagi yang kurang mampu. Ternyata produk yang didapat "aspal" alias asli tapi palsu. Asli karena masih sama-sama bensin bahan bakar yang dijual secara resmi di fasilitas resmi. Namun, palsu karena yang katanya RON 92 ternyata bensin campuran yang lebih rendah mutunya.
Sungguh ini tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan oknum. Kita hendaknya jangan mau dibohongi dan ikhlas dengan diksi "oknum" lagi. Sebab para komplotan Pertamina dan swasta yang menjadi otak penipuan dan korupsi kali ini bukan pejabat rendahan. Mereka adalah para direktur, wakil-wakil, dan orang-orang utama.
Para komplotan tersebut karena kedudukan dan jabatannya yang utama di anak perusahaan merupakan "wajah" perusahaan itu sendiri. Dengan kewenangannya mereka merencanakan kejahatan besar yang sangat rapi.
Mereka melakukan pemufakatan jahat dan korupsi dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai "orang perusahaan". Kejahatan mereka mencakup tata kelola perusahaan. Bensin yang mereka oplos juga disalurkan melalui kilang dan selang-selang perusahaan.
Itu merupakan bukti bahwa mereka memiliki pengaruh pada perusahaan beserta sistemnya. Oleh karenanya komplotan ini tidak bisa disebut oknum. Kejahatan mereka merupakan dosa perusahaan. Dan karena Pertamina merupakan representasi negara yang telah mendapat kepercayaan dan tanggung jawab untuk menyediakan BBM bagi rakyat, maka pemufakatan jahat mereka bisa pula dikatakan sebagai kezaliman dan kelalaian besar yang dilakukan oleh negara.
Bukan negara yang dirugikan, melainkan masyarakat. Ironisnya, hingga detik ini tidak ada kata maaf yang keluar dari mulut Pertamina. Rupanya begitu rendah standar moral dari perusahaan berlabel AKHLAK ini.
Perusahaan negara dengan penuh keyakinan membantah temuan Kejaksaan Agung. Seolah komplotan di perusahan mereka merupakan orang-orang biasa yang tak bisa melakukan banyak hal. Padahal rakyat sudah sejak lama merasa ada yang tidak beres dari bensin yang dibeli. Mulai dari kualitasnya yang jelek, lebih boros, hingga merusak mesin dan tangki bensin.
Begitu pula negara tak membersamai rakyat yang menjadi korban. Tak ada rasa prihatin ditunjukkan para pemimpin utama kita. Pemerintah bersama para perangkatnya terlanjur asyik main "tentara-tentaraan" dan menonton parade dalam retret di markas tentara.