Bapak dan Ibu sering memberi wejangan sakral padaku dan adik:
“Kalau naik motor hati-hati. Kita sudah hati-hati pun bisa celaka kalau orang lain tidak hati-hati.”
Kalimat yang dulu sering masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan, kini terasa seperti mantra pelindung di jalan raya yang makin hari makin mirip arena gladiator.
Pagi hari, jalan raya berubah jadi “medan pertempuran”. Para pekerja kantoran, buruh bangunan, pedagang pasar—semuanya berebut waktu dan ruang. Bedanya, pekerja kantoran punya musuh tambahan: jam absen. Kalau lewat jam 07.00 WIB, bukan cuma terlambat, tapi bisa dapat “panggilan cinta” dari pimpinan yayasan.
Maka, aku biasanya sudah meluncur lima belas menit sebelum waktu genting itu. Tapi kalau kesiangan sedikit—walau cuma lima menit—alamat ngebut di antara truk sayur dan motor anak sekolah yang zigzag bak pembalap MotoGP junior.
Pagi itu, aku berangkat agak mepet. Udara masih dingin, tapi detak jantung sudah seperti lagu EDM. Begitu keluar dari kompleks perumahan, langsung disambut jalan raya yang riuh—ratusan motor per menit, seperti arus sungai logam dan asap.
Di pertigaan menuju jalan besar, aku harus menembus lautan kendaraan yang tak ada jedanya. Kalau tidak “sat-set seperti belut tergesa”, aku akan terjebak di sana, menatap jam dengan air mata penyesalan.
Untung aku sudah terlatih. Naluri, refleks, dan sedikit keberanian nekat—itu modal utama. Kadang celah itu cuma muncul 0,9 detik. Kalau aku ragu 0,1 detik saja, wassalam. Terlambat.
Mataku menyapu kanan dan kiri, penuh perhitungan. Dari arah kanan, ada seorang bapak di atas motor, kecepatannya sedang, sein kirinya menyala mantap. Logikanya, beliau akan belok ke arahku, kan? Maka aku bersiap masuk, mulus setengah badan sudah di jalan raya.
Tiba-tiba—“WOIIII!!!”
Teriakan bapak itu menggetarkan udara pagi, hampir membuatku kehilangan keseimbangan (dan ketenangan batin).
Refleks, aku jawab, “Sein, Pak, sein!” Nada suaraku tenang, tapi dalam hati aku sedang membaca istighfar tercepat dalam sejarah.
Si bapak melirik dasbor motornya. Tatapannya berubah—antara menyesal dan malu. Benar saja, seinnya menyala di kiri padahal dia lurus. Kami saling pandang sejenak, dalam keheningan yang penuh makna… lalu beliau melaju, mungkin sambil menyesali hidup.
Dan aku? Aku lanjut jalan sambil merenung. Betapa lampu sein kecil yang sering dilupakan itu bisa jadi sumber drama besar di jalan raya.