Lihat ke Halaman Asli

Wahyudi Wibowo

Sed Vitae Discimus

Mitigasi Risiko Kemiskinan Lansia demi Indonesia Emas 2045 yang Inklusif

Diperbarui: 19 Juli 2025   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di balik proyeksi optimistis menuju Indonesia Emas 2045, tersimpan tantangan besar yang kerap luput dari sorotan. Data Badan Pusat Statistik dan laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa meskipun angka kemiskinan nasional terus menurun, kelompok lansia tetap termasuk yang paling rentan tertinggal. Fenomena ini nyata terutama di kalangan perempuan, pekerja informal, dan mereka yang tinggal sendiri di pedesaan. Risiko kemiskinan pada kalangan ini meningkat secara signifikan seiring bertambahnya usia. Problem ikutannya adalah fenomena yang disebut sandwich generation.

Fenomena di atas tak lepas dari realita bahwa Indonesia sedang bergerak cepat menuju struktur masyarakat menua. UNFPA (2014) memproyeksikan bahwa pada 2045, sekitar 1 dari 5 warga Indonesia akan berusia di atas 60 tahun. Dalam konteks tersebut, sistem jaminan pendapatan di usia tua tidak lagi menjadi isu pinggiran, melainkan pilar utama keberlanjutan pembangunan nasional. Sayangnya, arsitektur perlindungan sosial yang ada, khususnya program Jaminan Pensiun dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), masih jauh dari inklusif dan bahkan belum mampu menutup jurang ketimpangan yang terjadi sejak peserta berada pada usia produktif.

Program Jaminan Pensiun SJSN bersifat kontributif dan pada praktiknya hanya mencakup pekerja formal, yang jumlahnya berkisar 40% dari total angkatan kerja. Akibatnya, sebagian besar lansia di Indonesia menghabiskan usia produktif mereka tanpa akses terhadap skema pensiun. Studi SMERU dan TNP2K (2020) menegaskan bahwa perempuan, warga perdesaan, dan lansia dengan pendidikan rendah mengalami hambatan paling besar dalam mengakses perlindungan sosial. Dalam konteks ini, hidup sejahtera di masa pensiun menjadi kemewahan.

Kondisi ini diperburuk oleh kebijakan manfaat Jaminan Pensiun yang sangat terbatas nilainya, serta Jaminan Hari Tua (JHT) yang memperbolehkan penarikan dana sebelum usia pensiun. Artinya, bahkan bagi pekerja formal sekalipun, sistem yang ada saat ini belum menjamin kesejahteraan di usia senja. Tidak heran jika banyak lansia terpaksa terus bekerja di usia tua dalam kondisi kerja yang tidak layak.

Kesenjangan ini juga bersifat gender. Perempuan yang sebagian besar bekerja di sektor informal atau menjalani peran domestik tidak hanya memperoleh penghasilan lebih rendah, tetapi juga hampir tidak memiliki akumulasi dana pensiun MicroSave Consulting (2024). Akibatnya, mereka lebih sering menjadi lansia miskin yang hidup bergantung pada keluarga atau terus bekerja meski kondisi fisik sudah melemah. Ini adalah juga wajah ketimpangan yang bersifat struktural.

Sebenarnya, Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dan Chili. Brazil memiliki skema pensiun non-kontributif yang disebut Benefcio de Prestao Continuada (BPC), yang memberikan tunjangan bulanan kepada lansia miskin tanpa mensyaratkan riwayat kerja formal. Di Chili, sistem pensiun yang sebelumnya berbasis individual account diperkuat dengan Pilar Solidaritas, yang kemudian diperluas menjadi Pensiun Terjamin Universal. Kedua negara menunjukkan bahwa perlindungan lansia tidak cukup jika hanya mengandalkan kontribusi pekerja; negara harus hadir memberikan jaring pengaman dasar.

Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia membutuhkan reformasi sistemik. Pertama, membangun pilar pensiun sosial non-kontributif yang menjangkau seluruh lansia, khususnya mereka yang seumur hidup bekerja di sektor informal. Program yang ada seperti Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT) perlu diperluas cakupan dan manfaatnya.

Program ini dapat diubah menjadi pilar pensiun sosial, dengan kriteria jelas, cakupan nasional, dengan nilai manfaat yang diindeks secara berkala terhadap inflasi atau garis kemiskinan. Dana bansos lansia lainnya dapat diintegrasikan ke dalamnya sebagai jaminan pensiun sosial nasional yang berkelanjutan secara fiskal.

Kedua, sistem kontributif seperti Jaminan Pensiun harus diperluas agar lebih inklusif, misalnya melalui skema iuran fleksibel dan bantuan iuran bagi pekerja informal, seperti pada skema PBI JKN ataupun matching contribution. Pendekatan ini dapat menjangkau pekerja informal di lapisan tengah yang memiliki kemampuan terbatas namun dapat berkontribusi jika didukung insentif yang tepat. Selain itu, reformulasi manfaat diperlukan agar terjadi progresivitas hingga tercapainya tingkat manfaat minimum. Sehingga peserta dengan riwayat iuran rendah sekalipun akan menerima manfaat pensiun yang cukup untuk hidup di atas garis kemiskinan.

Ketiga, integrasi jaminan pendapatan lansia dengan layanan sosial lainnya---seperti jaminan kesehatan, perumahan layak, dan dukungan komunitas---akan memperkuat perlindungan dan mencegah isolasi sosial. Lansia yang mendapatkan pensiun seharusnya otomatis terdaftar sebagai peserta JKN dan menjadi bagian dari sistem perlindungan yang menyeluruh.

Keempat, diperlukan sistem data yang kuat untuk memantau dan mengevaluasi kondisi sosial-ekonomi lansia. Tanpa basis data yang solid dan terintegrasi, kebijakan pensiun rentan salah sasaran dan tidak adaptif terhadap perubahan demografis. Investasi pada sistem monitoring yang efektif harus dibangun untuk secara berkala mengukur dampak program jaminan sosial terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan lansia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline