Lihat ke Halaman Asli

Aksara Nara

Mahasiswa

Di Balik Butir Nasi, Ada Hutan yang Gugur

Diperbarui: 24 September 2025   12:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari Tani seharusnya menjadi hari penghormatan bagi mereka yang menjaga bumi petani, nelayan, dan kaum kecil yang setiap hari bekerja dengan tanah dan air. Tetapi apa arti penghormatan itu bila sawah-sawah kian menyempit, ladang-ladang berubah menjadi deretan beton, dan hutan-hutan lenyap dalam sekali musim tebang?

Di Kalimantan dan Sumatera hutan rimba yang dahulu disebut paru-paru dunia kini menyusut tak terkira. Sejauh mata memandang, yang tinggal hanya barisan sawit yang tegak seragam, seolah menertawakan keanekaragaman hayati yang pernah ada. Burung-burung yang dulu berkicau di dahan pohon raksasa kini terusir sungai yang dahulu jernih kini tercemar limbah dan masyarakat adat yang selama ratusan tahun hidup selaras dengan alam dipaksa angkat kaki dari tanah warisan leluhur.

Jawa dan Sulawesi serta papua pun tak kalah pilu. Di Jawa, lahan pertanian terkikis oleh jalan tol, pabrik, dan perumahan. Sawah yang seharusnya menjadi halaman masa depan anak cucu diganti pagar kawat dan beton kokoh. Sementara di Sulawesi dan papua perut bumi dikoyak tambang, hutan mangrove digusur, dan laut berubah keruh. Petani kehilangan tanahnya, nelayan kehilangan ikannya, dan anak-anak kehilangan udara bersihnya.

Pramoedya pernah menulis: "Tanah adalah ibu. Ia melahirkan, memberi makan, dan pada akhirnya menerima jasad kita kembali." Maka ketika tanah dirampas, yang tercabut bukan hanya hak milik, tetapi juga martabat manusia. Petani menjadi buruh di tanah sendiri, masyarakat adat menjadi tamu di rumahnya sendiri.

Hari Tani mestinya menjadi saat kita bercermin. Apakah bangsa ini masih menjunjung mereka yang memberi makan setiap hari? Atau kita hanya sibuk merayakan dengan pidato dan karangan bunga, sementara petani di pedesaan terus berhadapan dengan cangkul, utang, dan ancaman penggusuran? Sejarah negeri ini telah berulang kali mengingatkan: perebutan tanah selalu berujung pada air mata dan darah. Dari zaman kolonial, ketika tanah dirampas untuk perkebunan tebu, hingga kini ketika hutan diambil alih atas nama investasi. Bedanya hanya wajah penjajahnya, tetapi luka yang ditinggalkan sama rakyat kecil kehilangan ruang hidup.

Hari Tani bukanlah seremoni. Ia adalah peringatan, sekaligus perlawanan. Peringatan bahwa tanpa petani, kita semua hanyalah bangsa yang lapar. Perlawanan agar bumi tidak sepenuhnya dikorbankan bagi segelintir kepentingan.

Kita berutang pada petani. Pada mereka yang setiap hari menanam, meski tak tahu apakah sawahnya esok masih ada. Pada masyarakat adat yang menjaga hutan, meski terus digusur oleh alat berat. Pada para nelayan yang melaut dengan perahu kecil, meski laut telah dikapling oleh korporasi. Tanah, hutan, dan laut adalah nadi bangsa. Bila ia hancur, maka hancurlah kita. Hari Tani adalah saat menundukkan kepala, menyadari bahwa keberadaan kita ditopang oleh mereka yang suaranya jarang terdengar, tetapi keringatnya mengalir di setiap butir nasi yang kita makan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline