Rakyat Indonesia baru saja disuguhi kabar yang cukup melegakan, walau mungkin tidak sepenuhnya memuaskan.
Setelah sekian lama disuarakan, akhirnya DPR RI mengumumkan pemangkasan sejumlah tunjangan dan fasilitas, termasuk penghapusan tunjangan perumahan dan pemangkasan tunjangan lain seperti komunikasi dan transportasi.
Perubahan ini disebut-sebut sebagai respons langsung atas "17+8 Tuntutan Rakyat" yang digaungkan oleh masyarakat sipil. Sebuah langkah yang patut diacungi jempol, meski banyak yang berpendapat hal ini terlambat.
Namun, di tengah sorotan terhadap Senayan, kita seolah lupa ada entitas lain yang tak kalah pentingnya dan juga menggerus anggaran negara: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Rakyat dan Janji Angin Surga
Gerakan "17+8 Tuntutan Rakyat" adalah manifestasi dari kekecewaan publik terhadap kinerja wakil rakyat yang dianggap jauh dari harapan.
Tuntutan ini bukan hanya soal tunjangan, tapi juga tentang akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi anggaran. Rakyat lelah melihat wakilnya hidup dalam kemewahan, sementara sebagian besar warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Pemangkasan tunjangan DPR RI, yang konon memangkas take home pay mereka hingga puluhan juta rupiah, adalah buah dari desakan publik yang tiada henti.
Ini adalah kemenangan kecil bagi rakyat yang merasa suaranya akhirnya didengar.
Namun, kemenangan ini terasa hampa jika kita tidak melihat gambaran yang lebih besar.
Tunjangan DPRD yang Tak Kalah Mewah
Ketika publik fokus pada tunjangan fantastis anggota DPR RI, tunjangan dan fasilitas yang diterima oleh anggota DPRD di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota luput dari perhatian.
Padahal, jika diakumulasikan, jumlahnya bisa mencapai triliunan rupiah per tahun, membebani APBD yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik yang lebih mendesak.