Lihat ke Halaman Asli

Tri Agustini

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman

Gara-gara Postingan Twitter

Diperbarui: 6 September 2022   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sedikit cerita tentang hari ini. Baru saja aku membaca tweet yang isinya adalah tentang sebuah ungkapan kepada ayah. Momen yang pas. Aku juga tengah merindu dengan rumah dan seisinya. 

Aku turut menaruh kalimat ungkapan di kolom komentar. Jujur saja, aku jarang sekali berbicara dengan keluarga di tanah rantau ini. Bukan kendala teknis atau hal terkait lainnya, hanya saja aku takut lepas kendali. 

Saat di rumah, aku jarang berinteraksi dengan Bapak. Bahkan, bisa dihitung jari aku berbicara dengan Bapak selama seminggu. 

Melihat komentar-komentar di postingan itu aku menangis. Terbayang saat-saat aku bersama kedua orangtuaku. Isinya bukan sekedar ungkapan terima kasih atau permintaan maaf, tapi ada juga yang marah dan mengumpat atas apa yang dilakukan ayahnya. 

Membaca ungkapan marah itu, aku jadi lebih yakin bahwa cerita-cerita yang ada di alur ftv atau sinetron memang benar ada. Hanya saja terdistorsi ekspresi. alur ceritanya memang benar ada yang mengalami. 

Turut merasakan kesedihannya. Ia yang tadinya sangat ditunggu-tunggu untuk hadir lalu diabaikan. Ia yang ditinggalkan karena lebih memilih keluarga barunya, selingkuh dll. Ia yang diperlakukan kasar. Ia yang melihat ibunya disakiti, dan ia yang mengungkapkan sejuta rasa untuk ayahnya. 

Perlu diketahui bahwa, luka yang sangat melukai anak adalah melihat orang tuanya terluka. Terlebih jika yang melukai adalah keluarga sendiri, anak, istri, suami, sepupu, dll.

Aku juga ada ribuan bahkan jutaan kata maaf dan terima kasih untuk bapak. Rasaku terhadapmu dijamin seratus persen tak akan pudar. Aku rindu, sangat rindu dengan keluarga di sana, kucingku juga. 

Aku yakin, para penulis komentar di postingan itu kurang lebih sama denganku, agak gengsi untuk mengungkapkan rasa secara live. Di hari raya Idul Fitri bahkan aku hanya mengatakan, "maaf pak". Itu saja rasanya sudah menganak sungai mata ini. 

Aku tahu bagaimana bapak. Diamnya bapak adalah rasa kefrustasiannya, itulah cara ia bertahan di atas ketidakberdayaannya sebagai makhluk Tuhan. Meskipun kadang menyebalkan, tapi aku cukup paham untuk itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline