Babad Wirasaba: Sayembara Kuda Kurda -- Ki Tolih dan Kepahlawanan yang Teruji
Oleh: Toto Endargo - Membaca Babad Wirasaba (5)
Pendahuluan
Di tengah suasana Majapahit yang tengah siaga terhadap ancaman dari luar, muncul peristiwa yang mengguncang seluruh jagat istana: seekor kuda kurda --- simbol kekuatan dan kehormatan raja --- lepas kendali dan tak seorang pun bisa menaklukkannya. Bahkan para bangsawan dan prajurit pilihan Majapahit mundur teratur menghadapi keganasan kuda tersebut.
"... ucul kagungane kapal (=kuda), saking gedhogan wus mijil, gamel pra samya kontit, nyembadani kudanipun, tan ana kang kuwawa, turangga mberot mring jawi, ingadhangan ing wadya bala ngakathah. Asengit denira kurda, kadya keranjingan iblis, anjogit anglumba lumba, anyepak nunjang tur angrik, geris ingkang anyaketi, kuda prapteng alun-alun, saparan-paranira, tan ana wani nyegati, para mantri bupati, ing Majalengka, tan ana wani nyekela ...."
Peristiwa ini membuka jalan bagi satu lagi tokoh penting dalam kisah ini: Ki Tolih, yang sebelumnya telah dikenal sebagai utusan Ratu Keling. Namun kali ini, ia tampil bukan sebagai musuh, melainkan sebagai pahlawan yang menyanggupi misi mustahil.
Kuda Kurda: Simbol Kekacauan dan Ujian Kepemimpinan
Kuda kurda adalah gambaran metaforis dari kekuatan yang tak terkendali. Dalam kisah ini, lepasnya kuda tersebut dari kandang bukan hanya berarti ancaman fisik, tetapi juga menunjukkan simbol krisis dalam tatanan istana. Tidak ada punggawa, patih, bahkan mantri sekalipun yang berani mendekati --- semua gentar oleh kedahsyatan kuda itu.
Sayembara dari Prabu Brawijaya
Melihat tidak ada yang sanggup mengendalikan kuda, Prabu Brawijaya mengadakan sayembara besar: siapa pun, dari kalangan mana pun, yang bisa menaklukkan kuda tersebut, akan diberi ganjaran negara dan dinikahkan dengan sang putri raja. Tawaran ini mengguncang istana dan seisi Majapahit. Tapi tetap saja, tidak ada yang sanggup. Bahkan banyak yang menyatakan mundur dan siap mati daripada mencoba.