Abstrak
Esai ringkas ini menawarkan kritik sosial atas pola remunerasi pejabat tinggi di Asia Tenggara dengan meninjau enam negara pembanding yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina. Fokus kajian adalah besaran gaji resmi kepala pemerintahan/pejabat tinggi, arsitektur kebijakan (pegging, bonus kinerja, tunjangan), serta implikasi etis, tata kelola, dan keadilan sosial. Dari perbandingan ini, esai merumuskan prinsip "restrukturisasi remunerasi" yang menyeimbangkan integritas, kompetitif pasar tenaga profesional, dan legitimasi sosial.
Pendahuluan
Perdebatan ihwal "berapa besar" gaji pejabat tinggi kerap terjebak pada angka, bukan pada desain kelembagaan yang mencegah korupsi, memacu kinerja, dan menjaga legitimasi. Negara-negara di ASEAN memperlihatkan variasi tajam: dari model sangat berorientasi pasar (Singapura) sampai model bertingkat koefisien dan basis gaji relatif rendah (Vietnam). Variasi ini memberi laboratorium kebijakan untuk merumuskan restrukturisasi yang lebih adil sekaligus efektif.
Gambaran Perbandingan Regional ASEAN (angka pokok, tanpa seluruh tunjangan tak kasat mata)
Singapura
Singapura secara eksplisit menautkan gaji politis dengan kompensasi sektor swasta papan atas untuk meminimalkan rent-seeking dan menarik talenta. Gaji "normatif" Perdana Menteri ditetapkan sekitar S$2,2 juta per tahun dalam kerangka 2012 yang dikonfirmasi dalam pembaruan 2018 dan penjelasan resmi 2025; peninjauan 2023 ditunda karena kondisi ekonomi. Struktur juga memuat komponen variabel berbasis indikator nasional (national bonus).
Malaysia
Gaji dasar Perdana Menteri Malaysia diatur dalam undang-undang remunerasi pejabat administrasi dan anggota parlemen---sekitar RM22.826,65 per bulan (di luar berbagai elaun/tunjangan).
Thailand.
Perdana Menteri Thailand menerima 125.590 per bulan sebagai gaji dan 50.000 sebagai tunjangan jabatan (total 175.590 per bulan), menurut pelaporan media arus utama yang merujuk ketentuan resmi.