Lihat ke Halaman Asli

George

TERVERIFIKASI

https://omgege.com/

Agama Baru, Investasi Asing dan Problem Buruh

Diperbarui: 27 Mei 2018   15:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

May Day 2018. Foto: KOMPAS.com/Garry A. Lotulung

Sejak Krisis Ekonomi akhir 1990an melanda, mayoritas pembuat kebijakan di Indonesia dan para intelektual upahan yang setia mendukung mereka sebenarnya telah menganut agama baru. Agama baru itu disebut liberalisasi ekonomi dengan kredo utamanya adalah Indonesia hanya akan bisa diselamatkan oleh investasi asing. Beragam persoalan perburuhan, termasuk TKA yang memuncak dalam percakapan publik akhir-akhir ini adalah ekses dari dominasi agama baru itu.

Artikel ini sebenarnya kelanjutan, bagian ketiga dari artikel "TKA dan Akhir Internasionalisme Kelas Pekerja?" Saya mengubah judulnya bukan sekedar untuk  menegaskan pokok bahasan utama pada bagian ini, tetapi juga agar menimbulkan efek click bait. Saya tahu, sebagian besar pembaca terjangkit penyakit massal hanya tertarik kepada artikel berjudul bombastis.

Agama baru ini tidak turun tiba-tiba sebagai wahyu yang menyapa. Ia merupakan prakondisi panjang dan mengalami percepatan oleh krisis ekonomi. Awalnya adalah fondasi yang diletakkan para ekonom Orde Baru, kelompok yang disebut Mafia Berkeley sebab dididik Amerika Serikat di Universitas California di Berkeley dan kembali ke Indonesia untuk mendidik lebih banyak pengikut.

Tetapi agama baru itu tidak segera dominan sebab sebagai periphery country, Indonesia membebek kepada kondisi dunia, dunia di mana negara kesejahteraan yang mempraktikan ekonomi keynesian belum runtuh. Di sisi lain,  borjuasi dalam negeri, faksi kapitalis bersenjata yang sudah tanam kaki di dunia bisnis sejak program benteng nasional, dan faksi borjuasi sipil di lingkaran Cendana, masih memiliki kepercayaan diri untuk membangun kekuatan, mencoba mandiri di hadapan kapitalis internasional. Sayang, impian itu utopis sebab kelewat korup borjuasi itu, terlena oleh kenyamanan selama periode oil shock.

Krisis 1997-1998 mengubah segalanya. Perekonomian yang dibangun di atas landasan yang keropos oleh korupsi akhirnya ambruk. Inilah saat negara-negara maju, yang sejak 1980an mulai meluaskan keyakinan-keyakinan agama baru: thatcherism, reagenomics, neoliberalisme merengkuh Indonesia sepenuh-penuhnya.

Melalui lembaga-lembaga keuangan internasional---bank dunia, IMF, ADB---bantuan penyelamatan krisis ditawarkan dengan syarat menerima agama baru: resep-resep washington consensus. Termasuk di dalam resep-resep itu adalah kelenturan pasar tenaga kerja.

Peran Lembaga Suprastate terhadap Kelenturan Pasar Tenaga Kerja Indonesia

Direktur IMF Michel Camdessus dalam papernya, "Making Globalization Work for Workers"  (Desember 1997) menyampaikan kredo agama baru itu: "Good policies are rewarded with greater access to international capital markets, higher investment, more jobs, and stronger growth."

Good Policies yang dimaksud Camdessus adalah 10 agenda washington consensus, yang turunannya termasuk kelenturan pasar tenaga kerja. Ia berargumen, "In markets where wages are less flexible, increased demand for skilled labor translates into higher unemployment, especially among the unskilled."

Iman agama baru inilah (tentu saja juga kepentingan di baliknya)  menyebabkan Camdessus dan IMF telah sejak lama " ...  press governments to adopt a wide range of reforms--a "second generation" reform--to ensure that the benefits of growth are more widely shared. "

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline