Lihat ke Halaman Asli

Thoriq Ahmad Taqiyuddin

Audaces Fortuna Iuvat

Neo Konservatif : Pandangan Politik Internasional dari Amerika Serikat

Diperbarui: 10 November 2020   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teori Hubungan Internasional adalah perbincangan di ranah teoritis yang tiada habisnya. Pasang-surut, ada yang berganti, ada yang hilang, adapun yang dikembangkan menjadi gagasan baru yang lebih relevan dengan konstelasi dunia dan politik internasional. Realitas dunia yang pernah dilanda kehancuran lewat 2 kali Perang dunia memberikan para ilmuan politik konsentrasi baru tentang sebuah studi interdisipliner yang berkaitan dengan kajian soal hubungan antar negara. Semenjak Perang dunia I, Hubungan Internasional menjadi subjek kajian dari wawasan Politik Internasional yang berbicara tentang dunia yang seharusnya, yaitu gagasan tentang kondisi dunia Ideal, yang tentu saja damai.

Perang Dunia I menghadirkan gagasan penting tentang lahirnya sebuah institusi di atas negara, yaitu League of Nations (Liga Bangsa Bangsa). Rezim Internasional yang mewadahi kerjasama antar negara, dengan harapan bahwa kerjasama internasional akan meningkatkan hubungan antar negara sehingga konflik dapat dihindari. Dalam model ini Liga Bangsa-Bangsa tidak memiliki kekuatan bersenjata yang diorganisir jadi kekuatan Internasional, sehingga resolusi yang dikeluarkan tidak dipatuhi dan Perang Dunia II muncul.

Pada Tahun 1930an Jerman bangkit bersama Fasisme Italia dan Jepang menjadi kekuatan Central Power yang melawan Big Four. Sedangkan Negara-negara Post-Kolonial yang bangkit dari penjajahan, banyak dimotori oleh kaum intelektual revolusioner yang menganut paham Marxisme-Leninisme (Komunisme). Pada Perang Dunia II Central Power hancur. Sedangkan Teritori wilayah mereka menjadi tanah rampasan yang dibagikan ke Negara-negara Pemenang Perang Dunia II.

Demi mengkapitalisir Perdamaian, Big Four ditambah Prancis menganjurkan model Organisasi Internasional baru yang dapat mengakomodir ruang dialog antara negara-negara yang berkonflik di meja runding, yang tentunya modifikasi dari bentuk LBB. Lewat Declaration by United Nations yang diisi oleh Negara-Negara Sekutu PD II, organisasi yang bernama United Nations berdiri (Mulai beroperasi pada 24 Oktober 1945).

Pasca PD II persaingan dominasi tidak begitu saja berakhir. Persaingan antara 2 ideologi dominan yang semula bersekutu, menjadi perang dingin. Di ranah teori, pendekatan baru bermunculan sebagai paham yang dianggap solusi dari permasalahan global. Perang dingin yang jadi area persaingan dua Ideologi dunia yang menyebabkan Proxy War, yaitu perang konfrontatif lewat pemain pengganti. Salah satu paham yang muncul di Era Perang Dingin adalah NeoKonservatif.

Neo Konservatif

Neokonservatisme lahir di Amerika Serikat selama tahun 1960-an di antara kaum liberal yang kecewa dengan kebijakan luar negeri Partai Demokrat yang semakin pasifis dan dengan berkembangnya Kiri Baru dan budaya komunisme. Banyak Protes bermunculan terkait lemahnya posisi AS dalam perang Vietnam, begitupun pertanyaan masyarakat soal keyakinan kaum liberal dalam kebijakan domestik AS. Irving Kristol menekankan bahwa banyak cara-cara perencanaan pemerintah di negara liberal telah menghasilkan konsekuensi berbahaya yang tidak diinginkan. Neo-Konservatif tidak lahir sebagai sebuah organisasi intelektual yang terorganisir, melainkan sebagai rangkaian publikasi Ilmiah yang memiliki cara pandang yang serupa.

Penganut Neo-konservatif adalah para cendekiawan yang memiliki atensi yang tinggi terhadap perpolitikan, tidak seperti paham neo-liberal yang ingin meminimalisir peran politik, penganut paham Neo-konservatif justru percaya pada proyeksi Kekuatan Amerika di seluruh dunia untuk mengamankan kepentingan dan keamanan nasionanya. Mereka sepakat dalam upaya promosi demokrasi lewat intervensi militer. Namun, mereka menolak perluasan demokrasi dalam urusan dalam negeri karena dapat menyebabkan pemerintahan yang lemah. Secara umum, banyak orang menganggap paham ini sebagai paham kontradiktif antara kebijakan di dalam, dan kebijakan luar negerinya. Irving Kristol menulis: "Jika ada satu hal yang disepakati oleh para neokonservatif, itu adalah ketidaksukaan mereka terhadap budaya tandingan ", sedangkan Norman Podhoretz menambahkan kalimat itu dengan "Penolakan terhadap budaya tandingan menyebabkan lebih banyak orang yang masuk ke dalam neokonservatisme daripada faktor tunggal lainnya".

Dimulai pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, kaum Neo-konservatif mendukung gerakan hak-hak sipil, integrasi rasial, dan Martin Luther King Jr. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, mereka mendukung tindakan militer guna mencegah kemenangan komunis di Vietnam. Pada periode ini kaum neo-konservatif menyebarkan gagasan mereka melalui jurnal, pikirkan tank, koalisi, dan dengan melayani sebagai pejabat pemerintah tingkat tinggi, seperti di Commentary, Front Page Magazine, The Public Interest, The Weekly Standard dan The Washington Free Beacon. Hingga akhirnya ide-ide neo-konservatif berkembang dan mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.

Selama akhir 1970-an dan awal 1980-an, dimana Perang Vietnam masih berkecamuk, Kabinet Pemerintah Presiden Lyndon B. Johnson justru menjadi semakin liberal. Ia meluncurkan program domestik Great Society yang memberikan banyak subsidi dan pemotongan pajak bagi masyarakat. Kebijakan 'Kiri Baru' yang membuat Partai Demokrat semakin kiri dan memperlemah posisi AS dalam Perang Vietnam menjadikan para intelektual AS kecewa dengan pemerintahan yang berkuasa. kaum Neo-Konservatif menganggap bahwa liberalisme telah gagal dan tidak lagi tahu apa yang dibicarakannya.

Kritik dari penganut paham Neo-Konservatif masih berlanjut sampai ke era presiden setelahnya, yaitu Richard Nixon, Gerald Ford, Jimmy Carter hingga G.W. Bush. Terakhir, Di awal masa kepemimpinan GW. Bush tidak terlihat sebagai pendukung pandangan NeoKonserfatif. Namun, Kebijakan Bush berubah secara dramatis segera setelah serangan 11 September 2001. Dalam pidato kenegaraannya, Pada Januari 2002, dia menyebut Irak, Iran dan Korea Utara sebagai 'negara-negara poros kejahatan yang semakin besar menimbulkan bahaya yang serius'. Ia menggunakan kata "preemptive" sebagai dalih pembenaran dari serangan preventif yeng termaktub dalam hukum internasional (Hukum Piagam dan Hukum Kebiasaan).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline